Sri Nararya / Arya Kresna Kepakisan


Tersebutlah dijaman dahulu, dikisahkan tentang leluhur dari Shri Nararya Kresna Kepakisan, semasih di Jawa Timur yang sesungguhnya leluhurnya adalah Wisnu Wangsa di Jawa Timur yaitu dari dinasti Isana yang tiada lain adalah Mpu Sendok yaitu di Watu Galuh di Jawa Timur yang juga merupakan senkretisme dari dinasti Warmadewa dari pulau Bali. pada tahun saka 530 atau tahun  608 masehi di Jawa Timur ada sebuah keraton yang bernama Medang Kemulan dengan rajanya bernama Shri Wisnu Wangsa dengan gelar Shri Maharaja Manu. Apa sebabnya demikian, karena beliau di Jawa Timur beliau menurunkan dinasti Wangsa Wisnu yang memuja Sang Hyang Wisnu, keberadaan Shri Wisnu Wangsa di Jawa Timur tiada lain keinginan orang tuanya yang bernama Bhatara Guru di tanah India. Kemudian Shri Wisnu Wangsa mempunyai seorang putra yang bernama Shri Jaya Langit, selanjutnya Shri Jaya Langit juga menurunkan seorang putra yang bernama Shri Wreti Kendayun. Shri Wreti Kendayun juga  menurunkan putra yang bernama Shri Manu Menasa atau Shri Kameswara Para Dewasikan sebutan lainnya.

Shri Kameswara Para mempunyai seorang putra yang bernama Shri Dharma Wangsa dan setelah dewasa Shri Dharma Wangsa kawin dengan Shri Dewi Makutha Wangsa Wardhani yang merupakan cucu dari Mpu Sendok dari Watu Galuh. Tatkala beliau Shri Dharma Wangsa menjadi penguasa di Watan Mas baliau bergelar Shri Dharma Wangsa Teguh Ananta Wikrama uttungga Dewa, yang kemudian selanjutnya menurunkan putra laki perempuan, dimana yang perempuan bernama Dyah Kili Suci dan anak yang laki bernama Shri Kameswara. Pada tahun 1006 masehi terjadilah pertempuran antara Shri Dharma Wangsa dengan raja Wura Wari Loarang hingga dalam pertenpuran itu beliau Shri Dharma Wangsa manemui ajalnya, pada saat itulah putri beliau dipersunting oleh Airlangga. Dikisahkan sekarang putra beliau Shri Kameswara mempunyai tiga orang putra yaitu : Shri Kerta Dharma, adiknya bernama Tunggul Ametung yang selanjutnya menjadi penguasa di Tumapel dan anak beliau yang paling bungsu istri bernama Dewi Ghori yang di persunting oleh Mpu Wide. Setelah Shri Dharma Wangsa wafat kedudukan beliau digantikan oleh Shri Airlangga bersama istrinya Dyah Kili Suci. Dikisahkan bahwa Airlangga mengadakan penyerangan terhadap raja Wura Wari yang mengakibatkan kekalahan Raja Wura Wari dan patih beliau yang berjasa membantu menaklukkan Raja Wura Wari ini memangku jabatan sebagai Rakryan Kanuruhan.

Airlangga menurunkan tiga orang anak yang pertama Shri Sang Rama Wijaya yang kemudian bergelar Nyi Ageng Kili Suci, adiknya Shri Smara Wijaya dan Shri Jaya Warsa dan dari selir beliau juga melahirkan tiga keturunan, yaitu Shri Smara Karma, Shri Anjung Eyes dan Shri Samarotsaha. Kemudian Airlangga mengutus Mpu Baradah untuk pergi ke pulau Bali untuk bertemu dengan Mpu kuturan dengan maksud untuk meminta kepada Mpu Kuturan agar salah satu putranya bisa menjadi raja di Bali. Namun Mpu Kuturan menolaknya karena di Bali sudah ada raja yang tiada lain adalah adik dari Airlangga, keturunan Shri Aji Anak Wungsu. Mpu Bharadah kembali ke Jawa dan kemudian membagi kerajaan menjadi dua dengan memancurkan air kendi sampai air tersebut menuju lautan, yang mengakibatkan keraton kerajaan terbagi menjadi dua yaitu bagian barat dan bagian timur yang di batasi oleh sungai berantas.

Dari kejadian itu awal adanya Karaton Janggala/kahuripan dengan rajanya Shri Smara Karma yang bergelar  Shri Maharaja Mapanji Garasakan yang kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Maharaja Alanjung Ayes, yang kenudian digantikan oleh adik beliau yang bernama Shri Samarotsaha. Selanjutnya dikisahkan kerajaan Jenggala ditaklukan oleh Prabu Jaya Bhaya raja kerajaan Panjalu, atas kekalahan tersebut kerajaan itu disatukan, dimana keratonnya bernama Daha, dengan rajanya bernama Shri Smara Wijaya. Kemudian beliau digantikan oleh adiknya yaitu Shri Jaya Warsa dengan gelar Shri Jaya Warsa Digjaya Sastra Prabhu. Tersebutlah sekarang beliau Shri Smara Wijaya menurunkan lima orang putra yaitu : Shri Kameswara I, Shri Jaya Bhaya, Shri Sarweswara, Shri Aryeswara dan Shri Kroncaryadhipa. Pada tahun saka 1038(1116 masehi) kedudukan Shri Smara Wijaya digantikan oleh putra sulungnya yaitu Shri Kameswara I, yang memegang tapuk pemerintahan sebagai raja Panjalu dari tahun saka 1038 sampai 1057(1116-1135 masehi) dengan mempersunting Shri Dewi Candra Kirana sebagai istrinya yang merupakan anak dari Shri Smara Karma dari Jenggala, namun keraton Panjalu dipegang oleh Shri Jaya Bhaya yang sesungguhnya beliau ini adalah tunggal garis purusha, namun muncul ras iri dan benci dari Shri Jaya Bhaya hingga akhirnya terjadi peperangan dengan kekalahan pada pihak Shri Kameswara I yang merupakan kakak beliau.

Atas kejadian itu baik Panjalu dan Jenggala dikuasai oleh Shri Jaya Bhaya yang bergelar Shri Maharaja Sang Mapanji Jaya Bhaya Shri Warmeswara Madhusadanawatara Anindita Suhtringha Parakrama Uttungga Dewa, beliau duduk sebagai penguasa Kedhri. Setelah 25 tahun beliau Shri Jaya Bhaya sebagai penguasa Kedhiri, akhirnya beliau turun tahta dan digantikan oleh adiknya Shri Sarweswara I yang hanya memerintah selama empat tahun saja dan digantika oleh adiknya yaitu Aryeswara dan beliau juga akhirnya digantikan oleh Shri Kroncaryadhipa, dimana beliau sebagai penguasa Kedhiri tercatat selama 4 tahun yaitu saka 1103-1107( 1181-1185 masehi). Kembali diuraikan keberadaan beliau Shri Kameswara I mempersunting Shri Dewi Candra Kirana dan melahirkan putra yang bernama Shri Kameswara II, Shri Kameswara II inilah yang menggantikan kedudukan Kroncaryadhipa sebagai raja Kedhiri. Kemudian beliau menyerahkan kekuasaan kepada putra  Shri Sarweswara I yaitu Shri Sarweswara II.

Kembali dikisahkan keberadaan beliau Shri Jaya Bhaya mempunyai seorang putra yaitu Shri Kertajaya yang lebih dikenal dengan sebutan Shri Prabu Dandang Gendis yang menggantikan keprabhon Shri Sarweswara II dengan memegang kekuasaan sebagai raja Kedhiri dari tahun saka 1122-1144 (1200-1222 masehi) pada masa pemerintahan Shri Prabu Dandang Gendis memerintah kerajaan Kedhiri beliau memerintahkan para Panditha Siwa dan Budha agar menyembah dirinya, yang secarra jelas hal itu ditolak oleh para Pandita, Shri Prabu Dandang Gendis berperilaku begitu karena beliau sangat sakti, mampu berdiri diatas tombak, atas perilakuinya itu banyak yang meninggalkan Kedhiri menuju Tumapel. Atas situasi yang demikian itu akhirnya Shri Prabu Dandang Gendis  diserang oleh Ken Arok raja kerajaan Tumapel/Singasari. Oleh karena itu terjadi kekalahan pada pihak Prabu Dandang Gendis, dengan kekalahan itu maka kerajaan Kedhiri menjadi kekuasaan Singasari, namun raja Singasari tetap menunjuk penguasa Kedhiri dari keturunan raja Kedhiri sebagai raja bawahan yaitu Shri Jaya Sabha yang merupakan putra dari Kameswara II yang memegang kekuasaan sebagai raja dari tahun saka 1149- 1180 (1227-1258). Tersebutlah sekarang Shri Jaya Bhaya mempunyai seorang putra yang bernama Shri  Sastra Jaya yang lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan Aryeng Kedhiri ( Ari Ing Kedhiri) beliau inilah yang menggantikan kedudukan ayahnya Shri Jaya Sabha sebagai raja Kedhiri. Sekarang tersebutlah Shri Dandang Gendis menurunkan seorang putra yang bernama Shri Jaya Katwang yang memangku jabatan sebagai penguasa Gelang-gelang sebagai raja bawahan, pengangkatan Shri Jaya Katwang pada saat Kerta Negara sebagai raja. Selanjutnya Jaya Katwang menggantikan Sastra Jaya sebagai raja Kedhiri.

Dari kedudukan sebagai raja di Kedhiri hingga akhirnya meletus peperangan pada tahun 1214 atau 1292 masehi.  muncul keinginan dari Jaya Katwang untuk memerangi Singasari (Prabu Kertanegara) Dengan kekalahan pada pihak Singasari, Singasari dikuasai Kedhiri pada tahun 1292 masehi. Dengan kekalahan Singasari, Nararya Sang Rama Wijaya tidak sanggup menandingi peperangan dari prajurit Kedhiri. Melihat hal yang demikian sangat iba hatinya Sang Akuwu dari desa kudadu, yang kemudian beliau menyebrangi lautan menuju Madura mohon bantuan kehadapan Adhipati Madura yaitu Arya Wiraraja. Kemudian Arya Wiraraja melindungi Sang Rama Wijaya dan menyuruh agar mau menyerah kepada Kedhiri dengan syarat  untuk meminta Hutan Tarik dengan alasan akan digunakan sebagai tempat berburunya sang raja demikian siasat yang diberikan. Mendengar hal itu Sang Rama Wijaya sangat setuju, dan berjanji kelak kalau beliau sudah mampu menguasai pulau Jawa maka kekuasaannya akan dibagi dua yaitu separonya untuk Arya Wiraraja. Kemudian Sang Rama Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang, dan meminta Hutan Tarik dengan alasan seperti yang telah direncanakan. Jayakatwang menyetujuinya tanpa ada perasaan curiga. Akhirnya Rama Wijaya menuju Hutan Tarik, setibanya disana ia menemui pohon Maja dengan buahnya yang pahit.

Prajurit Kedhiri yang masih hidup melarikan diri termasuk putra dari Sastra Jaya yang bernama aryeng Kedhiri termasuk Bagawanta beliau menuju kearah utara yang akhirnya menetap di Desa  Pakis, karena tinggal di Desa Pakis maka lebih dikenal dengan sebutan Shri Nararya Kreshna Kepakisan sedangkan Bagawantanya bergelar Dangiang Kepakisan. Dangiang Kepakisan berputra empat orang yang diperoleh dari melakukan surya sewana pada sebuah batu yang konon sebuah bidadari yang terkena kutukan. Putra beliau tiga laki-laki dan seorang perempuan, keempatnya itulah yang ditugasi oleh Ki Patih Gajah Mada sebagai penguasa wilayah yang dianggap sebagai anaknya, yang paling tua di  Blambangan, adiknya di Pasuruan, sang raja putri di Sumbawa dan yang paling kecil di pulau Bali. 

Untuk itu Ki Patih Gajah Mada memohon ketulusan dan sih dari Dangiang Kepakisan, kemudian Dangiang Kepakisan mengabulinya, setelah sepakat keempat putra Dangiang Kepakisan itu dirubah status warnanya (wangsanya) dari wangsa Brahmana menjadi wangsa Kesatriya.

Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan

Sejak dalam kekuasaan Majapahit banyak terjadi pemberontakan dari rakyat Baliaga yang tidak mau diperintah oleh Kerajaan Majapahit, maka atas ide Patih Gajah Mada , pada tahun 1352 M atau 1274 isaka Ki Patih Gajah Mada mengutus Aryeng Kedhiri atau Shri Sastra jaya yaitu cucu dari Jayasabha (keturunan langsung dari Raja Bali sebelumnya, yaitu Gunapryadharmapatni - Dharmodayana WarmadÄ“wa (Saka 910-933/998-1011M)) datang ke pulau Bali untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga yang tidak mau diperintah oleh Majapahit.  Setelah Shri Sastrajaya ada di pulau Bali lebih dikenal dengan sebutan Shri Nararya Kreshna Kepakisan yang selanjutnya berkedudukan sebagai Patih Agung Kerajaan Samprangan.



Sumber : http://blog.isi-dps.ac.id/yogagiri/babad-sri-nararya-kresna-kepakisan-dadya-peladung