I Gusti Agung Made Alangkajeng Raja II Mengwi
I Gusti Agung Putu setelah tua digantikan
oleh puteranya yang terkemuka, yaitu: I Gusti Agung Made Alangkajeng. Putera –
putera yang lain, yaitu: I Gusti Agung Panji, I Gusti Ketut Buleleng, I Gusti
Agung Made Kamasan, I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, dan lain – lain, yang
kesemuanya diberikan tempat dan rakyat. Sedianya I Gusti Agung Panji akan
menggantikan ayahnya, namun beliau wafat di desa yang kemudian disebut Padekdekan.
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng pindah ke desa Munggu mendirikan istana Puri
Munggu.
I Gusti Agung Made Alangkajeng menjadi
raja bergelar I Gusti Ngurah Made Agung, atau oleh Dewa Agung Klungkung
dipanggil I Gusti Agung Banya, sebab beliau sogol, sering
mengucapkan banya (aku, kau). Adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng,
disuruh pulang ke Mangha-pura, membangun istana baru di Barat-daya Taman Ayun.
Pada tahun 1750 I Gusti Ngurah Made
Agung, memaksa meminta seorang puteri dari Nambangan, yang bernama Ni Gusti
Ratu Tegeh, puteri dari Kyai Anglurah Tegeh Kori XI. Puteri ini sudah
dijodohkan dengan Kyai Ngurah Jambe Merik, putera Kyai Jambe Pule, sama – sama
tinggal di Nambangan (Badung). Penyerahan puteri ini ke Mengwi menyebabkan
kemarahan keluarga Jambe beserta rakyat Badung. Keluarga Jambe bersama dukungan
sebagian besar rakyat Badung berhasil menjatuhkan kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh
Kori XI.
Dari isterinya Gusti Luh Patilik,
berputera I Gusti Agung Made Agung. Dari puteri Ratu Tegeh ini beliau
menurunkan seorang puteri I Gusti Ratu Istri Bongan, yang diperisteri oleh Kyai
Anglurah Pemecutan II, menurunkan putera di Puri Kaleran Pemecutan.
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng
Raja III Mengwi
Setelah I Gusti Ngurah Made Agung wafat,
digantikan oleh adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, yang bergelar Cokorda
Munggu. Hal ini disebabkan putera mahkota I Gusti Agung Made Agung tidak
kuasa dicegah, melanggar bisama leluhur, mengambil isteri ke Puri
Kuramas. I Gusti Agung Made Agung mengungsi ke desa Kapal, menjadi Pangeran
Kapal.
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng
mempunyai beberapa putera, yakni: I Gusti Agung Mbahyun, I Gusti Agung Made
Munggu, I Gusti Ngurah Jembrana (pemguasa di Jembrana), dan I Gusti Gede
Meliling.
I Gusti Mbahyun (Mayun) Raja IV Mengwi
Setelah I Gusti Agung Alangkajeng tua,
beliau yang masih beristana di dua Puri (Angaron Puri) wafat di
Puri Munggu. Oleh masyarakat diberi gelar Bhatara Ring Pasaren Belimbing.
Putera sulungnya I Gusti Mbahyun (Mayun) menggantikan bergelar Cokorda Mayun.
Pada masa pemerintahanya, laskar
Mangha-pura berperang dengan laskar I Gusti Ngurah Bun. Terjadinya perang
tersebut, dikarenakan I Gusti Ngurah Bun tidak setia kepada Kawya-pura. I Gusti
Mayun tewas dalam pertempuran yang terjadi di desa Lambing. I Gusti Agung Made
Munggu, setelah mendengar kakaknya tewas, memukul kentongan mengirim laskar
bantuan. Laskar I Gusti Ngurah Bun dapat dikalahkan. I Gusti Ngurah Bun dapat
dibunuh, anggota laskarnya dikejar sampai ke desa – desa. Itu sebabnya desa Bun
berganti nama dengan desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati.
Jenasah I Gusti Mbahyun setelah diupacarai diberi gelar Bhatara ring Bun.
Beliau meninggalkan seorang putera I Gusti Putu Mayun, masih anak – anak.
I Gusti Agung Made Munggu Raja V Mengwi
Setelah wafatnya I Gusti Mayun terjadi
huru – hara antara sesama keturunan kerajaan Mengwi saling serang, memisahkan
diri. Atas permintaan para pemuka kerajaan I Gusti Agung Made Munggu didaulat
menduduki tahta Kawya-pura. Beliau melangkah ke istana Kawya-pura sambil
membawa pusaka – pusaka. Tempat pemujaan dibangun berhadapan dengan Puri,
sebelah Timur jalan, bernama Pemerajan Mayun. Beliau bergelar Cokorda
Munggu. Sementara itu I Gusti Agung Kapal diserahkan memelihara Pemerajan
dan Taman Ayun.
Dalam masa pemerintahannya I Gusti Agung
Made Munggu menyerang, merebut kembali bekas – bekas wilayah kerajaan
Mengwi yang melepaskan diri, seperti desa Abian Semal, Sangeh, dan Mambal.
Setelah lama memerintah, beliau pindah
keraton di Puri Agung Kaleran, lengkap dengan tembok yang megah. Beliau
beristerikan puteri dari Anglurah Tabanan yang beristana di Puri Kubon Tingguh,
berputera I Gusti Agung Putu Agung. Serta seorang isteri puteri dari I Gusti
Ngurah Kaba – Kaba, bernama I Gusti Ayu Oka tidak diceritakan keturunannya
I Gusti Ayu Oka Raja (Ratu) VI Mengwi
I Gusti Agung Made Munggu setelah lanjut
usia dan wafat bergelar Bhatara Ring Pasaren Gede. I Gusti Ayu Oka
isteri beliau dari Puri Kaba – Kaba untuk sementara mengisi kekosongan, oleh
karena putera kandung I Gusti Agung Putu Agung dan kemenakannya, I Gusti Putu
Mayun masih anak – anak.
Tersiar fitnah yang mengatakan Blambangan
melepaskan diri. Ratu kemudian memanggil Pangeran Blambangan. Pangeran
Blambangan datang memenuhi panggilan namun tidak diperkenankan masuk ke Puri.
Pangeran beristirahat di pesanggrahan di Tegal Waru, sebelah Barat-daya Puri
bernama Banjar Jawa. Pengiring Pangeran Blambangan diberi tempat di sebelah
Barat Sahibang (Sibang), yang sekarang dinamakan Janggala Blambangan, dan Tan
Hayu.
Pangeran Blambangan terkenal sakti,
sempat memperliatkan kehebatannya berjalan – jalan di atas air telaga Tama
Ayun. Ratu I Gusti Ayu Oka sempat mendengar kejadian ini semakin menjadi marah,
kemudian menyuruh I Gusti Agung Kamasan dari Sibang dan Mekel Munggu membunuh
Pangeran di Pantai Seseh. Pangeran Blambangan dengan tabah menerima maut yang
segera datang. Sesaat sebelum menghembus napas terakhir, Pangeran mengutuk
Kawya-pura akan mengalami masa – masa surut. Setelah wafat Pangeran Blambangan
dibuatkan Kramat dan Meru Tunpang Solas, yang disembah oleh orang
– orang di desa Munggu, Cemagi dan Sibang.
I Gusti Agung Putu Agung Raja VII Mengwi
Setelah memerintah beberapa lama I Gusti
Ayu Oka sudah tua dan wafat. Putera tiri beliau I Gusti Agung Putu Agung
menggantikan bergelar Cokorda Putu Agung. Dalam pemerintahannya beliau
dibantu oleh adik misannya sebagai Raja Muda bernama I Gusti Agung Putu Mayun,
putera dari Bhatara Ring Bun.
Cokorda Putu Agung wafat di Ukiran,
bergelar Bhatareng Ring Ukiran. Beliau berputera I Gusti Agung Made
Agung, beribu dari I Gusti Ayu Ngurah, puterinya I Gusti Ngurah Teges dari Puri
Kaba-Kaba.
I Gusti Agung Made Agung Raja VIII Mengwi
I Gusti Agung Made Agung dinobatkan
menjadi raja bergelar Cokorda Agung Ngurah Made Agung. Beliau didampingi
oleh Raja Muda Cokorda Made Kandel, seorang putera yang diangkat (diperas)
dari Dewa Agung Made dari kerajaan Dalem Sukawati, oleh I Gusti Agung Putu
Mayun. I Gusti Agung Putu Mayun setelah wafat bergelar Bhatara Ring Pasaren
Anyar.
Setelah wafat Cokorda Agung Ngurah Made
Agung bergelar Bhatara Angluhur. Beliau banyak mempunyai isteri baik
dari kalangan Puri maupun dari sudra. Adapun putera yang terkemuka
adalah: I Gusti Agung Made Agung, beribu Jro Sengguan dari Kekeran, I Gusti
Agung Ketut Agung, beribu dari Kapal Kanginan.
Sedangkan Cokorda Made Kandel setelah
wafat bergelar Bhatareng Saren Sibang, berputera I Gusti Agung Putu Mayun
Mreta, dan I Gusti Agung Nyoman Munggu.
I Gusti Agung Made Agung Raja IX Mengwi
I Gusti Agung Made Agung seorang putera
kelahiran sudra, setelah diangkat anak oleh ibu tirinya (permaisuri dari
Munchan), naik menggantikan ayahnya menjadi raja Mengwi, bergelar Cokorda
Ngurah Made Agung.
Beliau beristeri I Gusti Agung Istri
Agung, puteri dari I Gusti Ketut Kamasan Sibang. Istrinya ini membawa abdi tatadan
dari desa Sedang dan Angantaka, berikut harta benda, mas, sawah, sebab beliau
adalah puteri satu – satunya. Dari isteri ini melahirkan puteri satu – satunya
bernama I Gusti Agung Istri Agung Muter, yang diperisteri oleh raja Klungkung
Dewa Agung Gede Putera. Putera tiri dari I Gusti Agung Istri Agung Muter yang
bernama Dewa Agung Gede Jambe, bergelar Dewa Agung Putera inilah yang gugur
dalam Puputan Klungkung pada tanggal 28 April 1908.
Dalam masa pemerintahannya, I Gusti Agung
Made Agung berselisih dengan adiknya tirinya I Gusti Agung Ketut Agung. Raja
juga menjalankan fitnah terhadap I Gusti Agung Nyoman Munggu, hingga dibuang
oleh Dewa Agung Klungkung ke Nusa Barong (Nusa Penida)
Raja ingin menyingkirkan saudaranya dengan
mengangkat derajat dari orang – orang yang tidak pantas. Raja memberi gelar
kepada I Gusti Made Kedewatan dengan Anak Agung Gede Putera, yang
disiapkan untuk menggantikan kedudukannya, sebab beliau tidak punyai putera
laki – laki.
Sebaliknya I Gusti Agung Ketut Agung
membuktikan diri beliau sebagai seorang Raja Putera. Beliau diuji oleh Dewa
Agung Klungkung untuk memasuki Goa Lawah sampai tembus ke Pura
Besakih. Ujian itu dilaksanakan dengan berhasil berkat restu dari Ida
Bhatara Tolangkir. Semenjak itu beliau diberi gelar I Gusti Agung Ketut
Agung Bhusakih. Dewa Agung Klungkung kemudian memberi tahu pihak
Mangha-pura tentang keagungan I Gusti Agung Ketut Agung. Namun raja Mangha-pura
tidak mau percaya dan tidak mau menerima kedatangan adiknya tirinya. Itu
sebabnya I Gusti Agung Ketut Agung dibuatkan istana di Klungkung bernama Puri
Batan Waru.
Singkat cerita, dalam perkembangan
selanjutnya kedudukan Raja menjadi terhimpit, oleh karena banyak pemuka –
pemuka kerajaan memihak I Gusti Agung Ketut Agung. Tokoh – tokoh dari warga
desa seperti Marga, Sembung, Cau tidak suka kepada Anak Agung Gede Putera.
Mereka memisahkan diri dengan Kawya-pura dan mengabdi ke kerajaan Tabanan.
Inilah awal permusuhan kerajaan Tabanan dengan Mengwi.
I Gusti Agung Ketut Agung Raja X Mengwi
I Gusti Agung Ketut Agung yang
berkedudukan di Puri Batan Waru Klungkung pulang kembali ke Mngha-pura, tetapi
tidak ke Puri Agung, beliau tinggal di Jeroan Bakungan. I Gusti Agung
Nyoman Munggu, yang sempat dibuang oleh Dewa Agung Klungkung ke Nusa Penida,
kembali pulang ke Mangha-pura membangun istana bernama Puri Mayun.
Di Puri Mayun inilah diselenggarakan Pesamuhan
Agung keluarga Raja dengan pemuka – pemuka masyarakat, yang
menghasilkan kesepakatan, mendudukkan I Gusti Agung Ketut Agung sebagai Raja,
dan I Gusti Agung Nyoman Munggu beserta I Gusti Agung Putu Mayun Merta sebagai Iwa
Raja (raja muda).
Hasil kesepakatan Pesamuhan Agung
disampaikan kepada Raja. Raja bersedia menerima kesepakatan tersebut. Kemudian
I Gusti Agung Ketut Agung diangkat menjadi Raja bergelar Cokorda Agung Ketut
Agung Bhusakih. I Gusti Agung Nyoman Munggu menjadi raja muda bergelar Cokorda
Nyoman Mayun dan I Gusti Agung Putu Agung Mayun bergelar Cokorda Mayun
Mreta. Tetapi I Gusti Agung Ketut Agung Bhusakih belum bersedia memasuki
Puri Agung, oleh karena Anak Agung Gede Putera masih tinggal di Puri Agung.
Anak Agung Gede Putera mendengar berita,
laskar Munggu akan menyerang dirinya. Dengan dibekali keris Pusaka Ki
Panglipur oleh Raja IX secara diam – diam pergi ke arah Barat, tujuannya ke
Tabanan. Laskar Munggu yang mengetahui Anak Agung Gede Putera lari, dapat
dikejar sampai di persawahan desa Kelaci. Raja IX yang berusaha melindungi,
menghalanginya hingga terjadi perang dengan laskar Munggu. Laskar Munggu tidak
mengatahui bahwa yang diserang dan dibunuh itu adalah rajanya sendiri (Raja
IX). Sementara Anak Agung Gede Putera dapat meloloskan diri. Raja I Gusti Agung
Made Agung yang terbunuh oleh laskar Munggu bergelar Bhatara Ring Suradana.
Raja I Gusti Agung Ketut Agung belum
bersedia melangkah memasuki Puri Agung, oleh karena keris pusaka Ki
Panglipur masih dibawa oleh Anak Agung Gede Putera yang bersembunyi di
Tabanan. Dengan segala upaya keris pusaka dapat dikembalikan, dan Anak Agung
Gede Agung diampuni diberikan rakyat di Moncos, Baha dan Banjar Sayan, yang
kemudian dijadikan manca. Setelah mendapat keris pusaka Ki Panglipur,
barulah Raja I Gusti Agung Ketut Agung Bhusakih melangkah memasuki Puri Agung.
Oleh karena desa Wratmara (Marga) sudah
bergabung ke kerajaan Tabanan, maka sulitlah Raja Mengwi mendatangi (tangkil)
ke Pura Kahyangan Beratan, untuk memuja Bhatara Gunung Mangu. Itu
sebabnya Cokorda Mayun mendirikan Pura Penataran Kahyangan Tinggan
di desa Tinggan, yang kerjakan oleh penduduk desa Tinggan, Tiyingan, Semanik,
Plaga, Kiadan, Nungnung, Bon, Sidan, dan desa Belok, yang diplaspas
tahun 1830 M. Tahun 1832 dibangun lagi Pura Penataran Agung Bon. Tahun
1834 lagi dibangun Pura Puncak Gunung Tedung oleh Cokorda Mayun.
Raja Cokorda Ketut Agung Bhusakih setelah
tua, dan wafat bergelar Bhatara Ring Pasaren Agung. Beliau hanya
meninggalkan seorang puteri I Gusti Agung Istri Mayun, yang bergelar Cokorda
Istri Agung.
Raja Muda (Iwa Raja) Cokorda
Nyoman Mayun setelah tua dan wafat bergelar Bhatara Ring Galungan.
Beliau meninggalkan putera I Gusti Agung Made Raka, beribu Jro Serongga ,
keluarga Bendesa Mas Mambal. I Gusti Agung Istri Putu dan adiknya I Gusti Agung
Made Agung, kedua beribu patni dari Puri Grana.
Raja Muda Cokorda Mayun Mreta setelah
wafat bergelar Bhatara Ring Pekerisan. Beliau meninggalkan seorang
putera I Gusti Agung Gede Mayun, beribu Gusti Luh Kajeng dari Bindhu.
I Gusti Agung Made Agung Raja XI
(Terakhir) Mengwi
Oleh karena Raja hanya mempunyai seorang
puteri, maka para pemuka di kalangan Puri Agung mengadakan Pesamuhan
untuk menunjuk pengganti Raja berikutnya. Dalam pesamuhan itu disepakati
untuk mendudukkan I Gusti Agung Made Agung, putera Bhatara Ring Galungan
menjadi Raja Mengwi, bergelar Cokorda Ngurah Made Agung. Kakak beliau I
Gusti Agung Made raka diangkat sebagai Raja Muda (Iwa Raja) bergelar Anak
Agung Gede Alangkajeng.
Kemudian Puri Mayun dibagi 2 bagian.
Bagian Utara tetap bernama Puri Mayun, tempat tinggal dari I Gusti Agung Gede
Mayun atau Anak Agung Gede Mayun nama lainnya. Bagian Selatan bernama Puri
Anyar, kediaman dari Anak Agung Gede Alangkajeng. Puri Anyar dan Pemerajannya
diplaspas pada tahun 1860 M.
Anak Agung Gede Alangkajeng terkenal
sakti dan kebal, tidak dapat ditembus oleh peluru. Adapun kesaktiannya berkat
anugrah dari Bhatara Gunung Mangu. Pada suatu hari tengah malam beliau
bersemadi. Di dalam daksina didengar suara berisik. Beliau mengambil dan
membuka isi daksina, yang ternyata ada ular hitam – putih. Ular tersebut
dililitkan ditubuhnya. Tiba – tiba ular tersebut berubah menjadi selempang bahu
berwarna Hitam – Putih, diberi nama Ki Naga Poleng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar