JAMAN KERAJAAN GELGEL (KLUNGKUNG)
Sri
Aji Kresna Kepakisan Raja I 1352 - 1380 M
Setelah berhasil menguasai Bali dengan menaklukkan Raja Bali Kuna Sri Astasura
Ratna Bumi Banten pada tahun 1343 M, sesuai dengan sumpah Palapa yang
didengungkan Rakyan Gajah Mada, maka terjadi kekosongan kekuasaan di
Bali. Expedisi Majapahit ini dilakukan pada jaman pemerintahan Tribuwana
Tunggadewi yang berkuasa pada periode 1328 – 1350 M. Sering terjadi
pemberontakan orang-orang Bali Aga dengan pasukan Majapahit.
Untuk mengatasi hal
itu Patih Gajah Mada memutuskan mendudukkan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai Gubernur
Majapahit di Bali pada tahun 1352 M. Beristana di Samprangan sebelah Timur Kota
Gianyar sekarang. Sehingga pada jamannya disebut Dhalem Samprangan. Beliau adalah
putera bungsu dari Brahmana Mpu Kepakisan. Gelar Mpu sebagai
Brahmana berubah menjadi Sri, sebagai penguasa. Beliau didampingi oleh
11 orang Arya dan masing-masing diberikan tempat kedudukan, sbb:
1.
Arya Kutawaringin di Gelgel
2.
Arya kenceng di Buwahan Tabanan
3.
Arya Belog di Kaba-kaba
4.
Arya Dalancang di Kapal
5.
Arya Sentong di Carangsari
6.
Arya Kanuruhan di Tangkas
7.
Arya Punta di Mambal
8.
Arya Jerudeh di Temukti
9.
Arya Tumenggung di Petemon
10.
Arya Pemacekan di Bondalem
11.
Arya Beleteng di pacung
Sebagai Patih Agung
adalah Arya Kresna Kepakisan (Sri Nararya Kresna Kepakisan) keturunan dari Prabu
Airlangga. Selain itu pengangkatan beliau dilengkapi dengan alat-alat kebesaran
seperti: Keris Ki Ganja Dungkul dan Tombak Ki Olang Guguh.
Sri Aji Kresna
Kepakisan wafat pada tahun 1380 M, meninggalkan putera dan puteri,
masing-masing: beribu dari Ki Gusti Ayu Gajah Para berputera: Dhalem Hile,
Dhalem Tarukan, Dewa Ayu Swabhawa, Dhalem Ketut Ngulesir. Beribu Ki Gusti Ayu
Kutawaringan berputera: I Dewa Tegal Besung.
Sri
Agra Kepakisan Raja II
Setelah Sri Aji Kresna Kepakisan wafat, beliau digantikan oleh puteranya yang
sulung, yaitu Dalem Hile bergelar Sri Agra Kepakisan. Masih menempati
istana lama. Namun beliau tidak mempunyai kepribadian ketatanegaraan. Beliau
lamban, suka lama-lama berhias, membuat para mentri lama menunggu di balai
penghadapan. Sementara adiknya Dhalem Tarukan menderita penyakit ingatan atau
kurang waras. Akhirnya Kyai Klapodyana / Kyai Kubon Tubuh (Kyai Bendesa Gelgel)
mengambil inisiatif mencari Dhelem Ketut Ngulesir.
Dahlem Hile
berputera: I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Anggungan, I Dewa
Pagedangan, dan I Dewa Bangli.
Sri
Smara Kepakisan Raja III 1380 – 1460 M
Dhalem Ketut Ngulesir ditemui di rumah judi di desa Pandak Tabanan, sedang
bermain judi. Setelah didaulat dan diyakinkan oleh Kyai Bendesa Gelgel, baru
bersedia menggantikan kakaknya. Beliau beristana di kediaman Kyai Bendesa
Gelgel, yang kemudian disebut Suweca Linggarsapura. Beliau sendiri
karena tampannya bergelar Sri Smara Kepakisan. Sehingga muncul 2 raja
dengan dua istana, tetapi hal dapat diterima oleh Dhalem Hile. Dengan demikian
dimulailah jaman Gelgel. Patih Agung Pangeran Nyuhaya wafat, digantikan oleh
puteranya Kyai Gusti Arya Petandakan.
Untuk menarik simpati masyarakat Bali, Sri Smara Kepakisan menyelenggara- kan
upacara penghormatan terhadap arwah raja-raja Bali dahulu, di Pura Tegeh
Kahuripan (Pura Bukit Penulisan), juga mendirikan Pura Dasar
Buwana di bekas lokasi Pesraman Mpu Gana di kota Gelgel. Beliau
satu-satunya raja Bali yang sempat menghadap ke Majapahit, waktu itu yang
menjadi raja adalah Sri Hayam Wuruk (1350 – 1389 M).
Dhalem
Batur Enggong Kresna Kepakisan Raja IV 1460 – 1550 M
Tetap beristana di Gelgel mengalami masa keemasan. Kekuasaannya meliputi:
Pasuruan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Kyai Petandakan Wafat
digantikan oleh puteranya Kyai Gusti Arya Batanjeruk. Pada jamannya datang
penghulu agama Siwa, yaitu Danghyang Nirartha tahun 1489 M, di Bali diberi
julukan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Dhalem juga mengirim utusan ke
Keling untuk mendatangkan Danghyang Angsoka ke Bali. Permohonan itu tidak dapat
dipenuhi, sebagai gantinya Danghyang Angsoka mengutus puteranya Danghyang
Astapaka ke Bali, bersama-sama Danghyang Nirartha memimpin upacara Tawur
Agung Ekadasa Rudra di Besakih.
Dhalem Batur Enggong sempat didiksa oleh Danghyang Nirartha sebelum
wafat pada tahun 1552 M. Beliau meninggalkan 2 orang putera yang masih muda
belia, yaitu: I Dewa Pemahyun yang kemudian bergelar Dhalem Bekung dan I
Dewa Anom Dimade yang selanjutnya disebut Dhalem Segening.
.
Dhalem
Bekung Raja V 1550 – 1580 M
Disebut Dhalem Bekung karena tidak mempunyai keturunan. Karena beliau
masih muda, maka urusan pemerintahan dipegang oleh Patih I Gusti Arya
Batanjeruk. Beserta paman-pamannya.
Patih I Gusti Arya Batanjeruk melakukan pemberontakan, dibantu oleh I
Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa, dan I Gusti Padhe Basa putera Pangeran Dawuh
Penulisan. Pemberontakan ini tidak dapat dicegah oleh Danghyang Astapaka,
menyebabkan beliau meninggalkan Ibukota Gelgel. Dhalem Bekung dan Dhalem
Segening yang disekap di istana, akhirnya dapat dibebaskan oleh Kyai
Kubon Tubuh, sementara datang bantuan pasukan dari Kapal yang dipimpin oleh
Kryan Menginte, putera dari Pangeran Asak berhasil menumpas para pemberontak.
Patih Agung dikejar dan dibunuh di desa Bungaya atau Jungutan tahun 1556 M, I
Gusti Tohjiwa dibunuh di dekat istana, I Dewa Anggungan diturunkan kastanya,
dan I Gusti Pandhe Basa diberi pengampunan.
Berikutnya I Gusti Pandhe Basa melakukan pemberontakan karena tidak menerima
adanya skandal seksual dan praktek-praktek percabulan di kalangan istana.
Terjadi hubungan gelap antara I Gusti Telabah dengan selir Dhalem Bekung I
Gusti Ayu Samantiga. Pertikaian antara kedua pihak ternyata banyak menimbulkan korban
jiwa. I Gusti Pandhe Basa gugur dalam peristiwa ini yang terjadi tahun 1578 M.
Pemberontakan ini membuat Dhalem Bekung mengundurkan diri, pindah ke desa
Kapal.
Dhalem
Segening Raja VI 1580 – 1665 M
Dhalem Segening menggantikan kakaknya dinobatkan tahun 1580 M. Sebagai Patih
Agung adalah I Gusti Agung Maruti (I Gusti Agung Widia) putera dari I Gusti
Agung Manginte , keturunan dari Arya Kresna Kepakisan (Sri Nararya Kresna Kepakisan), sedang sebagai Demung adalah I Gusti Di Ler Prenawa. Untuk
menjaga keamanan pemerintahannya beliau menjalankan politik kawin, agar
banyak menurunkan putera. Dhalem Segening menempatkan putera-putera beliau di
daerah-daerah tertentu sebagai jabatan anglurah, seperti:
1.
I Dewa Anom Pemahyun di tempatkan di desa Sidemen (Singharsa)
2.
I Dewa Manggis Kuning (I Dewa Anom Manggis) di Gianyar
3.
Kyai Barak Panji ( I Gusti Ngurah Panji Sakti) di Den Bukit.
Dhalem
Pemahyun Raja VII
I Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya yang wafat setelah lanjut
usia, bergelar Dhalem Pemahyun. Beliau tidak lama berkuasa karena penuh
dengan intrik-intrik politik di kalangan istana. Patih Agung I Gusti Agung
Maruti menghendaki I Dewa Di Made menjadi raja karena mereka ada hubungan ipar.
Untuk menghindari jatuhnya korban lebih jauh Dhalem Pemahyun rela melepas tahta
dan pergi menuju desa Purasi Karangasem, tempat pesanggarahan Dhalem Bekung
dahulu. Dari Purasi (sekarang Perasi) beliau menuju desa Temega bersama
puteranya yang bernama I Dewa Anom Pemahyun Di Made.
Dhalem
Di Made Raja VIII 1665 – 1686 M
I Dewa Di Made
dinobatkan jadi raja bergelar Dhalem Di Made. Patih Agung I Gusti Agung
Maruti melakukan pemberontakan. Dalam serangan mendadak ini Dhalem tidak dapat
mengadakan perlawanan. Beliau mengungsi ke desa Guliang Bangli, diikuti oleh
seorang puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule Badung dan
rakyat 300 orang. Sementara I Dewa Pemayun sudah lama menetap di Tampaksiring.
Dengan demikian Dhalem Di Made adalah generasi terakhir dinasti Sri Kresna
Kepakisan di keraton Gelgel. Dhalem Di Made wafat dalam pengungsian di
desa Guliang.
I Gusti Agung Maruti
1686 – 1705 M
Tampilnya Patih Agung sebagai raja Gelgel mengundang antipati raja-raja lain di
Bali. Masing-masing melepaskan diri dari kerajaan Gelgel. Muncul
kerajaan-kerajaan baru, seperti: kerajaan Mengwi, kerajaan Gianyar, kerajaan
Klungkung, dan Dhalem Sukawati. Setelah gagal mempertahankan kekuasaanaya di
Gelgel, lari ke daerah Jimbaran, terus menuju Badung bermaksud menghamba kepada
Kyai Tegeh Kori. Oleh Kyai Tegeh Kori disarankan agar menuju ke Kapal, dimana I
Gusti Agung Maruti ada hubungan keluarga dengan penguasa desa Kapal. Namun desa
kapal bukanlah akhir dari kehidupannya, I Gusti Agung Maruti terakhir mengungsi
ke desa Kuramas (Keramas sekarang), hingga wafat di Puri Kuramas.
JAMAN KERAJAAN SEMARAPURA (KLUNGKUNG)
Pembebasan Kota
Gelgel 1705 M
Setelah berkuasanya Patih Agung I Gusti Agung Maruti, membuat raja-raja di Bali
menyusun kekuatan untuk mengembalikan tahta Gelgel kepada pewarisnya. Di desa
Sidemen Ida I Dewa Agung Jambe mengadakan persidangan yang dihadiri oleh
pemuka-pemuka rakyat Singharsa, utusan dari kerajaan Buleleng dan Badung. Ida
Pedanda Wayan Buruan menentukan hari mulai penyerbuan ke Gelgel, yaitu Anggara
Paing Bala 1705 M. Penyerbuan dari 3 jurusan: dari Selatan kota Gelgel
laskar Badung dipimpin oleh I Gusti Nyoman Pemedilan, atau Kyai Ngurah
Pemecutan. Laskar induk Gelgel dipimpin langsung oleh I Gusti Agung Maruti
memburu laskar Badung. Terjadi pertempuran sengit di desa Jumpai. Laskar Gelgel
terus mengejar laskar Badung yang jumlahnya lebih sedikit. Perlawanan laskar
Badung berakhir dengan gugurnya I Gusti Nyoman Pemedilan di desa Batu Klotok,
yang kemudian bergelar Kyai Anglurah Macan Gading.
Laskar Taruna
Gowak dari kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun yang
bermarkas di desa Panasan menyerang dari arah Barat Laut, disergap oleh laskar
Gelgel yang dipimpin oleh Panglimanya Ki Dukut Kerta. Pertempuran sengit
terjadi di sekitar Tukad Jinah, menyebabkan banyak korban yang berjatuhan di
pihak Buleleng. Namun barisan laskar Taruna Gowak yang lain melakukan sergapan
mendadak sehingga Ki Dukut Kerta dapat dibunuh.
Laskar Singharsa
bermarkas di desa Sumpulan (Sampalan sekarang) dipimpin oleh Dewa Agung Jambe
bersama I Gusti Ngurah Singharsa menyerang dari arah Timur Laut. Laskar yang
jumlahnya sangat besar memasuki kota Gelgel dengan menyeberang Tukad Unda.
Sudah tidak ada perlawanan dari laskar Gelgel. Rupanya dengan tewasnya Panglima
Ki Dukut Kerta amat menjatuhkan moral laskar Gelgel. Namun laskar Singharsa ini
sukar dikendalikan, rumah - rumah dibakar, istana Gelgel dihancurkan.
Ida I Dewa Agung
Jambe Raja I Klungkung 1705 – 1775 M
Dewa Agung Jambe menjadi penerus generasi Dhalem, tetapi tidak berhak memakai
gelar Dhalem, melainkan dengan gelar Dewa Agung. Beliau menjadi
raja I Klungkung, dimana raja-raja di Bali menghormati beliau sebatas hal-hal
yang bersifat religius.
Dengan hancurnya kota Gelgel yang sudah tidak layak dipakai lagi dan
sudah dipandang tidak berkarisma lagi, maka setelah berunding dengan I
Gusti Ngurah Singharsa, pusat pemerintahan dipindahkan ke Klungkung di istana Smarajaya
Pura. Istana selesai dibangun tahun 1710 M. Beliau wafat pada tahun 1775 M,
berputera 3 orang: Dewa Agung Di Made, Dewa Agung Anom Sirikan, dan Dewa Agung
Ketut Agung.
Ida I Dewa Agung Di
Made Raja II Klugkung 1775 – 1825 M
Putera I menggantikan
ayahnya menjadi raja II Klungkung, Dewa Agung Anom Sirikan pindah ke desa Timbul
(Sukawati sekarang) mendirikan kerajaan Dhalem Sukawati. Dewa Agung Ketut Agung
pindah menempati istana leluhurnya di Gelgel menjabat sebagai Punggawa kerajaan
Klungkung.
Setelah lama menjabat
beliau wafat pada tahun 1825 M meninggalkan 3 orang putera: Dewa Agung Gede,
Dewa Agung Made, dan Dewa Agung Ketut Rai.
Ida I Dewa Agung Made
Raja III Klungkung
Terjadi perselisihan antara Dewa Agung Gede dengan dengan Dewa Agung Made. Dewa
Agung Gede pindah mendirikan istana baru di lingkungan kota Klungkung bernama Puri
Denpasar. Sementara itu Dewa Agung Ketut Rai pindah mendirikan istana baru
bernama Puri Akah, di desa Akah.
Meskipun berlainan tempat perselisihan antara Dewa Agung Gede dengan Dewa Agung
Made semakin sengit, masing-masing punya pengaruh dan pendukung. Rakyat
Klungkung akhirnya terpecah menjadi 2 golongan. Akhir dari pertengkaran ini,
ternyata pendukung Dewa Agung Made lebih banyak. Dewa Agung Gede pindah dari
Puri Denpasar menuju desa Talibeng, daerah kekuasaan kerajaan Karangasem.
Dewa Agung Gede disambut oleh raja Karangasem dengan perasaan terharu.. Tetapi
lama-lama timbul kekuatiran raja Karangasem akan digeser kedudukannya oleh Dewa
Agung Gede. Akhirnya laskar Karangasem dikerahkan untuk menyerang kerajaan
Taman Bali dengan rajanya I Dewa Gede Tangkeban. Setelah kerajaan Taman Bali
dapat ditaklukkan, Dewa Agung Gede diberi kedudukan menjadi raja Taman Bali.
Setelah lanjut usia Dewa Agung Gede mangkat, digantikan oleh puteranya Dewa
Agung Putera menjadi raja Taman Bali. Tetapi rupanya timbul pemberontakan
rakyat Taman Bali yang dipimpin oleh putera Dewa Gede Tangkeban. Dewa Agung
Putera melarikan diri menuju desa Satrya Kanginan di sebelah Timur kota
Klungkung.
Dewa Agung Made
dinobatkan menjadi raja III Klungkung. Setelah lanjut usia beliau mangkat
meninggalkan 3 orang putera: Dewa Agung Sakti, Dewa Agung Panji, dan Dewa Agung
Isteri Muter.
Ida I Dewa Agung
Sakti Raja IV Klungkung
Dewa Agung Sakti menggantikan ayahnya menjadi raja IV Klungkung. Tetapi setelah
memasuki usia agak lanjut terkena penyakit kurang ingatan, sering murka tanpa
sebab, melakukan penganiayaan, sehingga mencemaskan kalangan istana. Salah
seorang isterinya sedang hamil melarikan diri ke desa Besang, melahirkan seorang
putera bernama Dewa Agung Putera I. Setelah berusia sekitar 7 tahun pindah ke
kerajaan Karangasem. Puteranya yang lain adalah: Dewa Agung Rai dan Dewa Agung
Ketut Agung.
Ida I Dewa Agung
Panji Raja V Klungkung
Dewa Agung Sakti setelah lanjut usia wafat, meninggalkan putera yang masih muda
belia yang tinggal di Karangasem. Dengan demikian Singgasana kerajaan Klungkung
diduduki oleh Dewa Agung Panji sebagai raja V Klungkung. Setelah Dewa Agung
Putera I dewasa, dengan bantuan laskar Karangasem merebut tahta kerajaan
Klungkung. Dewa Agung Panji melarikan diri menuju desa Tulikup daerah kekuasaan
kerajaan Gianyar. Raja Gianyar I Dewa Manggis Di Madya menyambut dengan
perasaan terharu. Hubungan kedua belah pihak semakin erat dengan kawinnya adik
Dewa Agung Panji yang bernama Dewa Agung Istri Muter dengan Dewa Manggis.
Setelah hubungan membaik Dewa Agung Panji kembali pulang ke Klungkung tetapi
tidak memegang tampuk pemerintahan.
Ida I Dewa Agung
Putera I Raja VI Klungkung
Menduduki Singgasana kerajaan menjadi raja VI Klungkung. Bertikai dengan
saudaranya Dewa Agung Rai soal sebilah keris pusaka. Perselisihan ini
menyebabkan Dewa Agung Rai pindah ke Sukawati beserta keluarganya. Dewa Agung
Putera I membuat Puri Kusamba di desa Kusamba sekitar 7 km dari
pusat kota untuk menjaga kemungkinan serangan dari saudaranya.
Pada suatu saat Dewa Agung Putera I pergi ke desa Guliang bersama keluarga dan
pembesar istana melakukan persembahyangan di Pura tempat mangkat leluhur beliau
sesuhunan Bali – Lombok VIII (terakhir) Dhalem Di Made. Waktu itu terjadi
peperangan di Bangli. Rombongan raja Klungkung ini diserang disangka oleh
laskar Taman Bali membantu musuhnya. Iring-iringan raja kalang-kabut melarikan
diri. Saat melintas di jembatan Tukad Melangit, jembatan roboh. Raja dengan
beberapa pengiringnya jatuh ke jurang Tukad Melangit. Oleh karenanya beliau
diberi gelar Bhatara Ring Blahpane. Beliau meninggalkan seorang puteri
dari permaisuri bernama Dewa Agung Istri Srikandi, dan seorang putera dari
selir bernama Cokorda Ketut Rai.
Ida I Dewa Agung
Putera II Raja VII Klungkung 1849 – 1851 M
Sebenarnya yang berhak menggantikan kedudukan Dewa Agung Putera II adalah Dewa
Agung Istri Srikandi karena beribu permaisuri I Gusti Ayu Karang saudara dari
Raja Karangasem. Tetapi karena seorang perempuan maka tahta kerajaan diserahkan
kepada Cokorda Ketut Rai, diberi gelar Dewa Agung Putera II sebagai raja
Klungkung VII. Pada masa pemerintahannya kerajaan Buleleng sudah jatuh di
tangan Pemerintah Hindia – Belanda. Daerah Kusamba yang sempat diduduki Belanda
akhirnya dapat dibebaskan. Dewa Agung Putera II tidak lama berkuasa, sering
ditimpa gering. Beliau wafat pada tanggal 24 Pebruari 1850 dan Pelebonnya
dilaksanakan pada tanggal 9 September 1850. Beliau tidak mempunyai keturunan.
Ida I Dewa Agung
Putera III Raja VIII Klungkung 1851 – 1903 M
Selama beberapa bulan terjadi kekosongan kekuasaan, karena Dewa Agung Putera II
tidak mempunyai keturunan. Untuk sementara pemerintahan dipegang oleh adik dari
Dewa Agung Putera yang bernama Dewa Agung Ketut Agung. Sementara itu Belanda
telah menanamkan pengaruh-pengaruhnya di setiap kerajaan di Bali. Perselisihan
antara raja-raja di Bali nampak semakin sengit, menyebabkan pengaruh Dewa Agung
Klungkung semakin berkurang.
Akhirnya diputuskan
salah seorang putera dari Dewa Agung Ketut Agung dinobatkan menjadi raja
Klungkung VIII dengan gelar Dewa Agung Putera III. Karena bukan
keturunan langsung dari raja, maka diadakan upacara abiseka yang dilaksanakan
pada 18 Maret 1851. Upacara dihadiri oleh wakil Pemerintah Hindia – Belanda,
yaitu Asisiten Residen Banyuwangi Van der Cappelan. Dewa Agung Putera III
mangkat pada tanggal 25 Agustus 1903, dengan meninggalkan 2 orang putera: I
Dewa Agung Gede Jambe dan I Dewa Agung Gede Smarabhawa. Pelebonnya
dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1903. Sewaktu upacara dilangsungkan 6
orang jandanya sedianya akan mesatya, namun dilarang oleh Pemerintah
Hindia – Belanda, sehingga tidak jadi dilaksanakan.
Ida I dewa Agung
Putera IV Raja IX Klungkung 1903 – 1908
Dewa
Agung Gede Jambe dinobatkan menjadi raja Klungkung IX, bergelar Dewa Agung
Putera IV. Kerajaan Klungkung di bawah kekuasaan Dewa Agung Putera IX amat
sempit pengaruhnya. Kerajaan – kerajaan di Bali sudah dikuasai Belanda, seperti
Kerajaan Buleleng, Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung, dan Tabanan. Sementara
itu daerah Sibang dan Abiansemal terpaksa dilepaskan oleh Dewa Agung karena
diminta oleh Belanda. Dewa Agung juga terpaksa menanda- tangani surat
perjanjian kerjasama yang merugikan pihak Dewa Agung. Pemerintah Hindia –
Belanda akhirnya memonopoli perdagangan candu di Klungkung, serta mendirikan
kantor penjualan candu tanggal 1 April 1908 di pantai sehingga dengan
sendirinya Belanda menguasai perairan kerajaan Klungkung. Dominasi Belanda ini
melahirkan gerakan rakyat yang menentang kebijakan-kebijakan Belanda, sementara
Dewa Agung Tidak dapat berbuat banyak.
Tanggal 16 April 1908 pasukan Belanda berbaris unjuk kekuatan di kota Gelgel.
Karena tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Dewa Agung, Cokorda Jambe
Punggawa Gelgel seketika itu timbul amarahnya melihat kesombongan tentara
Belanda. Penduduk kota Gelgel gempar, terjadi serangan yang mendadak terhadap
pasukan Belanda, hingga banyak memakan korban. Tentara Belanda yang selamat
melarikan diri ke Gianyar, kerajaan yang sudah menjadi kekuasaan Belanda.
Kantor perdagangan candunya juga dihancurkan.
Insiden ini menimbulkan kemarahan di pihak Belanda dan menuduh Dewa Agung
mengkhianati perjanjian. Belanda segera mengerahkan pasukannya yang bermasrkas
di Gianyar dan di Denpasar. Tanggal 17 April 1908 sore harinya pembalasan
pasukan Belanda dilaksanakan di kota Gelgel, menewaskan sekitar 100 orang
penduduk. Puri Cokorda Gelgel diduduki, sehingga mulai saat itu di Klungkung
dibangun kubu – kubu pertahanan. Esok harinya tanggal 18 April 1908 kota
Klungkung sudah mulai dihujani tembakan – tembakan meriam terus menerus
dari perairan Klungkung. Penduduk yang tinggal di pantai mulai ketakutan dan
mengungsi ke kota Klungkung. Pemerintah Hindia – Belanda mendatangkan tentara
yang jumlahnya ribuan dari Jawa dan pendaratannya mulai dilakukan pada tanggal
26 April 1908.
Puputan Klungkung
Tahun 1908 M
Tanggal 28 April 1908
adalah hari yang bersejarah bagi kerajaan Klungkung. Pagi-pagi tentara Belanda
memasuki kota Klungkung. Sementara kapal-kapal perangnya yang berada di
perairan Kusamba terus menerus menghujani dengan tembakan meriam. Dewa Agung
dengan pengikutnya berjumlah 200 orang maju. Atas nasihat pamannya Cokorda
Jambe, Dewa Agung menancapkan keris pusakanya ke tanah dengan kepercayaan agar
muncul lubang besar yang akan menelan korban besar dari musuh-musuhnya.
Dewa Agung keluar
dari gerbang istana lutut dan dadanya terkena tembakan, dengan gagah perkasa
beliau bangun sebelum roboh lagi terkena tembakan. Dewa Agung wafat di depan
istana. Kepala Dewa Agung hancur, otaknya berceceran. Inilah yang disebut Puputan
Klungkung. Tempat kediaman Dewa Agung yang bernama Inem Smarapura
dihancurkan.
Dewa Agung Putera
yang gugur dalam puputan ini merupakan generasi penerus terakhir yang berkuasa
dengan menyandang gelar Sesuhunan Bali – Lombok. Keluarga raja yang
masih hidup dibuang diasingkan ke Lombok.
Diselesaikan pada Anggara –
Kliwon – Kulantir
Penanggal ping 6, Sasih Ke pitu, Isaka 1926
Tanggal 18 Januari 2005
Ida Bagus Wirahaji, S.Ag
Sumber : http://gustu107.blogspot.co.id/2012/03/babad-dalem.html