Pemerintahan kerajaan Bali selama kekuasaan I Gusti Agung Maruti / Dalem Agung Dimade menyebabkan banyak punggawa ataupun Manca di seluruh bagian wilayah Bali ingin melepaskan diri dari pemerintahan yang berpusat di Gelgel dan membentuk kerajaan sendiri-sendiri. Setelah beberapa kali mengadakan musyawarah di Sidemen, Anglurah Singharsa atas nama Dewa Agung Jambe mengirim Surat Undangan ke pada I Gusti Anglurah Panji di Denbukit dan Anglurah Nambangan di Badung. Juga ke semua Punggawa sampai Manca yang masih setia untuk hadir di Puri Sidemen membicarakan keadaan Bali yang dalam bahaya perpecahan. I Gusti Anglurah Panji yang memang sudah paham isi surat segera memerintahkan Panglima Perang Ki Tamblang Sampun ke Sidemen untuk mewakili beliau.Pertemuan di Puri Sidemen di pimpin oleh Dewa Agung Jambe, Anglurah Singharsa dan Pedanda Wayan Buruan. Mereka semua sepakat dengan tekad bulat untuk menghancurkan kekuasaan I Gusti Agung Maruti. Dewa Agung Jambe memberikan surat kepada Ki Tamblang Sampun supaya disampaikan kepada I Gusti Anglurah Panji di Den Bukit yang isinya meminta bantuan menggempur I Gusti Agung Maruti yang menguasai Istana Gelgel.
Gabungan
pasukan koalisi Bali terdiri dari laskar Taruna Gowak dari Den Bukit
dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun dan I Gusti Made Batan bermarkas di
desa Panasan, lengkap dengan sarwa senjata keris, tombak, bedil sebagian
dengan berkuda. Juga tidak ketinggalan bunyi-bunyian perang, kendang
bende, cengceng. Pada waktu yang sudah ditentukan mereka mulai menyerang
Istana Gelgel dari arah Barat Laut.Pasukan dari Badung dibawah pimpinan
I Gusti Jambe Pule melalui arah pantai menyerang dari arah Selatan
Istana lengkap dengan garangnya. Sedangkan laskar Singaharsa menyerang
dari arah Timur Laut dengan terlebih dahulu menundukkan desa-desa
sekitar Gelgel. I Gusti Agung Maruti segera memerintahkan pasukan untuk
bertahan.
Sulit untuk menceritakan dahsyatnya pertempuran, saling
serang, saling serbu sehingga banyak jatuh korban nyawa. Pasukan Gelgel
dibawah pimpinan I Gusti Agung Maruti sedang sengitnya menggempur
pasukan Badung di sebelah selatan Gelgel mengamuk sehingga pasukan
Badung banyak jatuh korban sehingga I Gusti Jambe Pule terpaksa mundur.
Pasukan Gelgel dengan orang-orang Jumpai sangat kuat terus mengepung
sehingga I Gusti Jambe Pule dari Badung akhirnya tewas.Setelah itu
pasukan Gelgel muncul dibawah pimpinan Ki Padangkerta yang mengejar
laskar Taruna Gowak dari Den Bukit yang lari tunggang langgang. Seorang
pimpinan regu Teruna Gowak terbunuh sehingga pasukan Den Bukit terus
mundur kembali ke desa Panasan. (Rakyat desa itu merasa panas dengan
adanya laskar Den Bukit, maka desa dinamakan Panasan)Dengan mundurnya
pasukan Badung dan Den Bukit maka Dalem Maruti Di Made tetap menguasai
Istana Gelgel. Rakyat menganggap I Gusti Agung Maruti sudah menang dan
rakyat berbondong-bondong kembali ke Istana Gelgel mendukung kedudukan I
Gusti Agung Maruti.
Mendengar berita bahwa I Gusti Agung Maruti masih
tetap bercokol di Istana Gelgel membuat I Gusti Anglurah Panji sangat
kecewa dan marah. Segera memerintahkan menyusun kembali pasukannya dan
segera melakukan penyerangan kembali langsung dibawah Panglima Perang I
Gusti Tamblang dan I Gusti Made Batan dengan tambahan persenjataan
bedil. Penyerangan kembali dilancarkan sesuai perintah I Gusti Anglurah
Panji dengan turunnya I Gusti Tamblang Sampun ke medan pertempuran. I
Gusti Tamblang langsung berhadapan dengan Panglima Perang Gelgel, Ki
Dukut Kerta.
Perang tanding orang per orang berkecamuk dengan dahsyat
antar jago silat, saling tebas saling tusuk. Keduanya sama berani dan
tangguh. Selang berapa lama akhirnya Ki Tamblang mengeluarkan ajiannya
dan dapat menipu Ki Dukut Kerta dengan gerakan yang tidak bisa ditangkap
oleh penglihatan. Tiba-tiba Ki Dukut Kerta roboh oleh senjata di tangan
Panglima Perang Teruna Goawak Ki Tamblang Sampun. Seketika itu pasukan
Gelgel lari tunggang langgang tak tentu arah menyelamatkan diri karena
merasa ngeri dan ketakutan Setelah itu pasukan Anglurah Singharsa
membuat ranjau di sekitar Istana Gelgel. Sedangkan laskar Dewa Agung
Jambe menggempur pasukan pengawal I Gusti Agung Maruti yang masih berada
di dalam Istana Gelgel dan tidak mau menyerah. Pasukan Den Bukit juga
ikut menggempur Istana Gelgel. Kembali terjadi pertempuran sengit kacau
balau tidak jelas kawan dan lawan, sehingga banyak rakyat yang jadi
korban terbunuh didalam istana. Orang berlarian cerai berai keluar
istana, bahkan keluar kota Gelgel. Dalam keadaan hiruk pikuk,
I Gusti
Agung Maruti dapat lolos keluar istana dan melarikan diri ke arah Barat
ditemani Kyai Kidul dan Ki Pasek karena sudah berjanji sehidup semati.
Namun terus dikejar oleh pasukan Dewa Agung Jambe dan pasukan Anglurah
Singharsa sampai di Jimbaran. Di Jimbaran disambut oleh pasukan
bersenjata yang dipimpin oleh Ida Wayan Petung Gading yang merupakan
kelahiran Gelgel, namun menetap di Jimbaran.
Kyayi
Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti berputra empat orang, dua orang
pria: I Gusti Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan dua orang
wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya
Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu
Ratih.
I Gusti Agung diam di Jimbaran bersama I
Gusti Ler Pacekan putra Kyayi Panida. Kemudian keris Ki Sekar Gadung
(pusaka I Gusti Agung) diambil oleh I Gusti Ler Pacekan dengan tipu
muslihat, akhirnya I Gusti Agung mengabdikan diri di Badung pada I Gusti
Tegeh Kori, tetapi ditolak disuruh mengabdi pada Pangeran Kapal. I
Gusti Agung langsung ke Kapal diiringkan oleh I Melang seorang abdi
kepercayaan I Gusti Tegeh Kori, dan bersama-sama mengabdi di sana.
Berkat tipu daya I Melang, timbul peperangan antara Kapal dan Buringkit,
dengan alasan putri Buringkit dipermainkan dengan seekor kuda oleh
Kyayi Kapal, Kyayi Kapal dikalahkan oleh Buringkit yang dibantu oleh I
Gusti Ler Pacekan dengan keris Ki Sekar Gadung. I Gusti Agung kembali
lagi dari Kapal ke Jimbaran. Bertapa di Goa Gong memperoleh keris Ki
Bintang Kukus. Kemudian I Gusti Agung menyerang I Gusti Ler Pacekan di
Kapal. I Gusti Ler Pacekan dapat dibunuh oleh I Gusti Agung keris Ki
Sekar Gadung kembali ke tangan I Gusti Agung, dan kembali ke desa Kapal.
Kemudian I Gusti Made Agung menetap di Kapal. I Gusti Agung Putu Agung
kembali ke Jimbaran. Bandesa Gede Miber ikut ke
Jimbaran bersama pengiring-pengiringnya semua. Lalu Bandesa Gede Miber
disuruh ke desa Rangkes. Anak- anaknya yang masih di Jimbaran diberikan
tugas-tugas khusus. I Gusti Agung Putu pindah dari Jimbaran ke
Cawurangka, dan selanjutnya ke desa Keramas - aka 1672 (1750 M).
Istananya di Jimbaran diberikan kepada Bendesa Salahin.
I
Gusti Agung Putu Agung menata Desa Keramas, dengan menguasakan kepada
petugas- petugas yang ditunjuknya membentuk desa- desa di sekitarnya.
Keturunan Bendesa Gede Miber: Bendesa Kedeh ditetapkan oleh I Gusti
Agung Putu Agung sebagai pangemong pura Masceti turun- temurun.
Sedangkan I Sukra di Rangkes dilantik oleh I Gusti Agung Made Agung
dengan nama - Bendesa Gde Gumyar. I Gusti Agung Made Agung berkuasa di
Kapal, semua desa-desa di sekitarnya dapat dikuasai.
I Gusti Agung Made
Agung merelakan adiknya I Gusti Ayu Ratih menjadi istri Pedanda Wanasara
di Tabanan, I Gusti Agung Putu Agung salah paham dan membunuh Pedanda
Wanasara, sebelum wafat mengutuk I Gusti Agung Made Agung. I Gusti Agung
Putu Agung juga terkutuk oleh Pedanda Batulumbang yang dibunuh di Cawu
Rangke dahulu.
Terjadi percekcokan antara Keramas dengan Serongga,
tetapi kemudian berbaik kembali, hingga banyak rakyat Keramas pindah ke
Medahan. I Gusti Agung Putu Agung berputra dua orang, yaitu I Gusti
Agung Maruti Katrini dan I Gusti Agung Rai, pindah ke Medahan, semua
mempunyai keturunan. I Gusti Agung Made Agung berputra I Gusti Agung
Blangbangan yang banyak keturunannya. I Dewa Manggis (Gianyar) menguasai
daerah-daerah/ desa-desa sebelah timur kekuasaan Mengwi sampai dengan
daerah I Gusti Gede Keramas.