Setelah berhasil melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan
Dalem Di Made, Patih Agung Kryan Maruti memegang kekuasaan dengan tetap
beristana di Suwecapura Gelgel, pada tahun 1686 M. Dalem Di Made melarikan diri
ke desa Guliang, Bangli bersama dengan 300 orang rakyatnya. Dalem Di Made
kemudian wafat di sana.
Naiknya Patih Agung Maruti sebagai penguasa di Gelgel,
menyebabkan raja – raja di Bali memisahkan diri dari kekuasaan Gelgel. Raja –
raja yang masih setia kepada Dinasti Dalem Kepakisan menghimpun diri untuk
melakukan perebutan kekuasaan Patih Agung Maruti.
I Dewa Agung Jambe salah seorang putera terkemuka dari Dalem Di
Made, yang beribu dari Badung, mengatur siasat. Beliau pindah dari lokasi
pengungsian di desa Guliang Bangli menuju istana Ulah di desa Sidemen, dengan
diiringi rakyat yang masih setia sekitar 150 orang. Di desa Sidemen beliau
disambut oleh I Gusti Ngurah Sidemen atau I Gusti Ngurah Singharsa nama
lainnya. Di tempat inilah direncanakan siasat untuk merebut kembali kota Gelgel
dan mengembalikan kekuasaan kepada keturunan Dalem.
Gerakan penyerangan terhadap kota Gelgel dilakukan secara
mendadak dan rahasia sesuai dengan rencana. Penyerangan dari Selatan oleh
laskar Badung dipimpin oleh Panglima I Gusti Nyoman Pemedilan atau Kyai Ngurah
Pemecutan (I). Laskar ini lebih dahulu kontak dengan laskar Gelgel. Dalam
pertempuran ini Kyai Ngurah Pemecutan I gugur di desa Batu Klotok. Beliau
kemudian bergelarKyai Anglurah Macan Gading.
Penyerangan dari Barat-Laut oleh laskar Taruna Gowak Buleleng,
dipimpin oleh Panglima Ki Tamblang Sampun berhasil membunuh Panglima laskar
Gelgel Ki Dukut Kerta. Penyerangan dari arah Utara diperkuat oleh laskar Taman
Bali di bawah pimpinan Kyai Paketan. Sedangkan laskar Sidemen dalam jumlah
besar menyerang dari arah Timur Laut bermarkas di desa Samplangan sekarang di
bawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan I Gusti Ngurah Sidemen.
Kota Gelgel menjadi hancur porak poranda akibat pertempuran ini.
Sementara itu moral laskar Gelgel merosot karena terbunuhnya Panglima mereka Ki
Dukut Kerta. Patih Agung Maruti melihat tanda – tanda seperti itu segera
mengatur persiapan untuk melarikan diri. Laskar I Dewa Agung Jambe dengan mudah
memasuki kota Gelgel tanpa perlawanan, karena telah ditinggal oleh laskar
Gelgel. Kota Gelgel dapat direbut pada tahun 1705, tapi dalam keadaan sudah
hancur lebur.
Patih Agung Maruti
Melarikan Diri
Patih Agung Maruti meninggalkan laskarnya melarikan diri diikuti
oleh Kryan Kaler Pacekan, menuju desa Jimbaran. Atas usaha liciknya Kryan Kaler
Pacekan berhasil membujuk rakyat I Gusti Agung Maruti untuk ikut bersamanya,
dan berhasil mendapatkan keris Ki Sekar Gadhung dan Ki
Panglipur. Merasa diperdaya I Gusti Agung kemudian menuju ke kerajaan Kyai
Anglurah Tegeh Kori hendak menghamba. Tetapi atas nasihat dari Kyai Tegeh Kori,
Kryan Agung Maruti menuju menemui Pangeran Kapal di desa Kapal, bersama 3 orang
putera dan puterinya, yatu: I Gusti Agung Putu, I Gusti Istri Ayu Made, dan I
Gusti Agung Anom. Sedangkan Kryan Kaler Pacekan tetap di desa Jimbaran.
Kemudian terjadi peperangan antara Kapal dengan Buringkit,
akibat penghinaan Pangeran Kapal, yang menikahkan kuda kesayangannya dengan
puteri dari Pangeran Buringkit. Pangeran Kapal dan Pangeran Buringkit sama –
sama tewas. Sebelum tewas keduanya mengeluarkan kutukan, bahwa antara desa
Kapal dan desa Buringkit tidak boleh saling ambil mengambil (kawin), sampai dengan
tumbuh-tumbuhan tidak boleh bertemu sampai pada akhir jaman.
Atas bantuan I Gusti Kaler Pacekan, Buringkit akhirnya berhasil
mengalahkan Kapal. I Gusti Agung Maruti yang ikut membela wilayah Kapal,
melarikan diri bersama dengan isteri dan ke-3 anaknya, menuju hutan Rangkan.
I Gusti Agung Maruti
Menaklukkan Buringkit
Setelah beberapa lama berada di hutan Rangkan I Gusti Agung
mendapat anugerah dari Bhatara Dalem Tawang Alun, berupa sebuah
keris bernama Ki Bintang Kukus. Selain itu Beliau juga menemukan
sebuah tempat pemujaan di tengah hutan, yang kemudian diperbaiki dan diberi
nama Parahyangan Masceti. Kemudian beliau mendirikan istana
bernama Puri Kuramas.
Merasa mempunyai kekuatan yang tangguh dan jumlah laskar yang cukup
banyak, I Gusti Agung melakukan penyerangan balasan ke Buringkit. Laskar
Buringkit cerai berai, dan I Gusti Kaler Pacekan berhasil dibunuh di Bukit
Pegat. Keris pusaka Ki Sekar Gadhung dan Ki Panglipur berhasil
direbut kembali. Putera – putera I Gusti Kaler Pacekan melarikan diri
berpencar; ada yang ke Karangasem ada pula ke Tabanan.
I Gusti Agung Maruti kemudian mewariskan kerajaan kepada putera
– puteranya. I Gusti Agung Putu diberikan Puri Kuramas, dan pusaka Ki
Bintang Kukus dan Ki Sekar Gadhung. I Gusti Agung Anom
diberikan wilayah Kapal dan Buringkit, dan pusaka keris Ki Panglipur,
kemudian beliau bergelar I Gusti Agung Made Agung. I Gusti Agung Maruti
kemudian wafat di Puri Kuramas.
Perpecahan Kuramas dan
Kapal
Tersebutlah I Gusti Istri Ayu Made, adik dari I Gusti Agung Putu
dan kakak dari I Gusti Agung Made Agung, yang menderita sakit ingatan. Seorang
Pandita Pande dari desa Wanasara berhasil menyembuhkan, tetapi setiap berpisah
dengan Sang Pandita penyakitnya kambuh lagi. Akhirnya I Gusti Istri Ayu Made
dikawinkan dengan Sang Pandita Pande. Perkawinan ini tanpa sepengetahuan
kakaknya I Gusti Agung Putu di Puri Kuramas. I Gusti Agung Putu murka dan
membunuh Sang Pandita. Sang Pandita Pande sebelum menghembus napas terakhir
sempat mengeluarkan kutukan kepada I Gusti Agung Putu, bahwa kelak I Gusti
Agung Putu dan keturunannya tidak akan pernah menjadi raja. Sedangkan kutukan
kepada I Gusti Agung Made Agung, bahwa keturunannya tidak akan habis – habisnya
menderita sakit ingatan (gila). Sejak peristiwa itu, I Gusti Agung Made Agung
mengeluarkan sumpah putus hubungan bersaudara dengan kakaknya I Gusti Agung
Putu.
I Gusti Istri Ayu Made mesatya mengikuti
perjalanan Sang Pandita. I Gusti Agung Made Agung mewarisi pusaka Sang Pandita
Pande berupa genta KiBhrahmara, genta Ki Kembang Lengeng,
termasuk Siwa Pakaranan pangeran Kapal yang kuno.
Selain itu I Gusti Agung Made Agung juga mewarisi pusaka seperti: keris Ki Panglipur,
keris Ki Baru Pesawahan (pusakanya Pangeran
Kapal), keris Ki Pancar Utah (pusakanya Pangeran Buringkit
dahulu).
I Gusti Agung Made Agung beristerikan Ni Gusti Luh Bengkel,
puteri dari Kryan Bebengan, menurunkan putera satu – satunya bernama I Gusti
Agung Putu. Puteranya adalah hasil dari permohonan I Gusti Agung Made Agung
bersama isterinya di Pura Sada, yaitu anugerah
dari Bhatara Hanandharu.
I Gusti Agung Putu
Ditawan Di Tabanan
Setelah I Gusti Agung Made Agung wafat, digantikan oleh putera
beliau. Dalam pemerintahan I Gusti Agung Putu, rakyat kurang diperhatikan,
beliau keras kepala, hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Timbul
pemberontakan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari desa Kekeran.
Timbul perang yang ramai antara laskar Kapal dengan laskar Kekeran. I Gusti
Agung Putu dapat dikalahkan, dikira sudah mati, ditinggal oleh I Gusti Ngurah
Batu Tumpeng.
Adalah seorang sahaya yang bernama I Kedua, mendekati
junjungannya. Dalam keadaan sekarat I Gusti Agung Putu menitipkan pusakanya,
yang bernamaKi Panglipur kepada I Kedua. I Kedua menutupi badan
junjungannya dengan daun Liligundi agar terasa sejuk. Mengetahui I Gusti Agung
Putu masih hidup, I Gusti Ngurah Batu Tumpeng membawanya ke Linggasana Tabanan,
menjadi tawanan raja I Gusti Ngurah Tabanan.
Seorang pemimpin dari desa Wratmara (sekarang: Marga), bernama I
Gusti Bebalang, yang mengabdi di kerajaan Linggasana Tabanan, mengetahui bahwa
I Gusti Agung Putu ditawan. Atas permohonannya yang mendalam kepada raja
Anglurah Tabanan, I Gusti Bebalang berhasil melepaskan I Gusti Agung Putu, dan
mengajak tinggal di desa Wratmara. Di desa Wratmara I Gusti Agung Putu sangat
akrab dengan adik I Guti Bebalang yang bernama I Gusti Celuk.
I Gusti Agung Putu
Mendapatkan Keagungan
Setelah beberapa lama tinggal di desa Wratmara, di mana kondisi
tubuh dan mentalnya membaik, I Gusti Agung Putu berkeinginan membalas terhadap
I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk itu beliau melakukan perjalanan menuju
puncak Gunung Mangu melakukan semadi. Dalam semadinya yang khusuk, Ida
Bhatara Gunung Mangu turun. I Gusti Agung Putu disuruh menjulurkan
lidahnya, dan dirajah oleh Ida Bhatara.
Dari puncak Gunung Mangu itu pula I Gusti Agung Putu disuruh melihat ke arah
Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Sabda Ida Bhatara, bahwa apa – apa yang
dilihat oleh I Gusti Agung Putu, kelak itulah akan menjadi wilayah
kekuasaannya. Selesai melakukan semadi, I Gusti Agung Putu kembali ke desa
Wratmara, disambut hangat oleh sahabatnya I Gusti Celuk.
Selanjutnya I Gusti Agung Putu, dengan seijin penguasa desa
Marga merabas hutan membangun istana bernama Puri Balahayu, sebagai
tempat kedudukan beliau. Nama beliau menjadi termasyur, beberapa penguasa
menghadap dan mendukung beliau, antara lain: I Gusti Ngurah Tangeb, I Gusti
Ngurah Pupuan, I Gusti Ngurah Buringkit, I Gusti Ngurah Penarungan. I Kedua pun
menghadap mempersembahkan keris Pusaka Ki Panglipur yang dulu dititipkan
kepadanya Tetapi I Gusti Ngurah Kekeran (Batu Tumpeng) masih menentang. I Gusti
Ngurah Kekeran kemudian diserang dan berhasil dibunuh. Semenjak itu daerah
Kekeran menjadi wilayah kekuasaan I Gusti Agung Putu.
BERDIRINYA KERAJAAN
KAWYAPURA
Pasek Badak Takluk
Setelah berhasil mengalahkan I Gusti Ngurah Kekeran, I Gusti
Agung Putu mendirikan istana di Bekak, di sebelah Utara Bale Agung Mengwi,
sehingga dinamai Puri Kaleran. Di sebelah Barat – Laut
istana dibangun Parahyangan(Dewa Graha) yang
dinamai Taman Ganter. Dibuatkan Tengeran (kulkul)
yang bernama Si Tankober, milik I Gusti Tangeb. Setelah diupacarai
dinamakanKawyapura, atau Manghapura nama lainnya.
Sementara istana beliau di Balahayu (Puri Belayu) diberikan kepada I Gusti
Celuk.
Ada seorang Ki Pasek yang sakti dan teguh berkendaraan Badak,
dengan pengikutnya tidak mengakui kedaulatan I Gusti Agung Putu. Ki Pasek lalu
dipanggil untuk datang menghadap ke Puri. Ki Pasek bersama kerabatnya datang
memenuhi permintaan Raja. Raja menantang untuk adu tanding, tanpa mengadu
rakyat. Rakyat hanya menjadi taruhan. Tantangan disetujui oleh Ki Pasek Badak.
Mereka berdua mengadu kekuatan, sama – sama kebal tidak terlukai oleh senjata.
Tidak ada yang kalah. Kemudian Ki Pasek Badak menyadari, bahwa I Gusti Agung
Putu ditakdirkan menjadi penguasa dan menikmati kewibawaan. Ki Pasek bersedia
mengalah dan dibunuh dengan syarat setelah menjadi Pitara disembah
oleh 40 orang keturunan I Gusti Agung Putu. Syarat itu disetujui, Ki Pasek
menyerahkan nyawanya, ditikam dengan keris Ki Nagakeras. Binatang
Badak peliharaannya juga mati di sebelah Selatan desa Buduk. I Gusti Agung Putu
kemudian melakukan upacara pemerasan kepada 40 orang
dari semua golongan masyarakat untuk menyembah roh Ki Pasek Badak, sebab beliau
tidak mau keturunan langsung yang menyembah. Warga Ki Pasek seluruhnya tidak
mau tunduk, mereka mengungsi ke desa Tanguntiti Tabanan.
I Gusti Agung Putu memenuhi janjinya dengan mendirikan
Pura Taman Ahiun (Ayun). Arwah Ki Pasek Badak diistanakan
di Pelinggih Meru Tumpang 1. Kemudian dilaksanakan upacara
besar Bhuta Yajnya, Manca Wali Krama, danSiwa
Yajnya, pada Anggara – Kliwon – Medangsya.
Warga 40 orang yang menyembah roh Ki Pasek Badak kemudian dijadikan laskar
kerajaan bernamaBala Putra Dika Bata – Batu.
I Gusti Agung Putu Raja I Mengwi
Perjalanan selanjutnya I Gusti Agung Putu menundukkan I Gusti
Ngurah Teges, sehingga kekuasaannya daerah Kaba-kaba menjadi bagian dari
wilayah Kawyapura. I Gusti Agung Putu juga menyerang dan menaklukkan Penebel
dalam rangkaian membantu Tabanan. Sebagai imbalan kemenangan itu Tabanan
memberikan desa Marga kepada I Gusti Agung Putu. Beberapa penguasa atau
Anglurah juga menyatakan takluk kepada Kawyapura, hingga wilayah Kawyapura
meliputi: ke Selatan bukit Jimbaran sampai Uluwatu, ke Utara sampai gunung
Beratan, ke Timur sampai sungai Petanu, ke Barat sampai sungai Yeh Panah.
Perkembangan kemudian laskar I Gusti Agung Putu berperang
dan menaklukkan laskar Buleleng. Perang ini dipicu oleh putera I Gusti
Ngurah Panji Sakti yang bernama I Gusti Panji Wayahan, yang merabas hutan
Batukaru, kekuasaan Kawyapura. Sebagai tanda takluk I Gusti Ngurah Panji Sakti
menyerahkan daerah Blambangan dan Jemberana menjadi daerah kekuasaan Kawyapura.
Selain itu, juga diberikan puterinya Ni Gusti Ayu Panji sebagi isteri I Gusti
Agung Putu. Raja juga memohon seorang Brahmana, Ida Pedanda Sakti Bukian dari
desa Kayu Putih, diberikan tempat di Kekeran untuk mendampingi beliau,
Demikianlah bertambah – tambah keagungan dan kebesaran I Gusti
Agung Putu, Ketika diangkat menjadi Raja I Kawyapura, beliau diberi gelar I
Gusti Agung Made Agung Bima Sakti, atau Cokorda Sakti Blambangan gelar
lainnya. Beliau sangat sakti (mangueng). Dari kata mangueng menjadi
Mengwi.
I Gusti Agung Putu Tunduk Kepada Dewa Agung Klungkung
Dengan semakin luasnya daerah – daerah jajahan yang kemudian
menjadi wilayah kekuasaan, I Gusti Agung Putu tidak
mau mengakui kewibawaan Dewa Agung Klungkung. Sekitar awal – awal tahun 1700,
ada seorang tokoh sakti ilmu hitam yang bernama Ki Balian Batur, tinggal di
pesisir Timur Kerajaan Mengwi, di desa Teledunginyah. Mempunyai sisya (murid)
yang banyak, yang terkemuka adalah I Gede Mecaling. Ki Balian Batur konon
ciptaan dari Bhatara Ulun Danu yang menginginkan agar I Gusti Agung Putu tunduk
terhadap Dewa Agung Klungkung.
Ulah Ki Balian Batur beserta murid – muridnya membuat raja
Mengwi merasa terusik. Banyak rakyat beliau terutama di bagian Timur meninggal
karena serangan ilmu hitam. I Gusti Agung Putu mengerahkan laskar untuk
menyerang Ki balian Batur beserta rakyatnya. Namun laskar Mengwi tidak dapat
berbuat apa, karena berhadapan dengan mahluk – mahluk gaib. Dalam keadaan putus
asa mengahadapi musuh, I Gusti Agung Putu mendengar suara gaib, yang
menyarankan meminta bantuan dari Dewa Agung Klungkung. Ki Balian Batur hanya
dapat dikalahkan dengan bedil Ki Narantaka dan
peluru Ki Selisik.
I Gusti Agung Putu mengikuti saran suara gaib itu. Beliau
menghadap Dewa Agung Klungkung untuk meminta bantuan. Dewa Agung Klungkung
memenuhi permohonan raja Mengwi dengan mengutus adik beliau Dewa Agung Anom
Sirikan, untuk melaksanakan tugas membunuh Ki Balian Batur. Tugas dilaksanakan
dengan baik dan sebagai imbalannya I Gusti Agung Putu memberikan daerah
Sukawati kepada Dewa Agung Anom Sirikan. Demikianlah riwayatnya timbul kerajaan
Dalem Sukawati, dan I Gusti Agung Putu mengakui otoritas Dewa Agung Klungkung
Sesuhunan Bali - Lombok.
I Gusti Agung Made Alangkajeng Raja II Mengwi
I Gusti Agung Putu setelah tua digantikan oleh puteranya yang
terkemuka, yaitu: I Gusti Agung Made Alangkajeng. Putera – putera yang lain,
yaitu: I Gusti Agung Panji, I Gusti Ketut Buleleng, I Gusti Agung Made Kamasan,
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, dan lain – lain, yang kesemuanya diberikan
tempat dan rakyat. Sedianya I Gusti Agung Panji akan menggantikan ayahnya,
namun beliau wafat di desa yang kemudian disebut Padekdekan. I
Gusti Agung Nyoman Alangkajeng pindah ke desa Munggu mendirikan istana Puri
Munggu.
I Gusti Agung Made Alangkajeng menjadi raja bergelar I
Gusti Ngurah Made Agung, atau oleh Dewa Agung Klungkung dipanggil I
Gusti Agung Banya, sebab beliau sogol, sering mengucapkan banya (aku,
kau). Adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, disuruh pulang ke Mangha-pura,
membangun istana baru di Barat-daya Taman Ayun.
Pada tahun 1750 I Gusti Ngurah Made Agung, memaksa meminta
seorang puteri dari Nambangan, yang bernama Ni Gusti Ratu Tegeh, puteri dari
Kyai Anglurah Tegeh Kori XI. Puteri ini sudah dijodohkan dengan Kyai Ngurah
Jambe Merik, putera Kyai Jambe Pule, sama – sama tinggal di Nambangan (Badung).
Penyerahan puteri ini ke Mengwi menyebabkan kemarahan keluarga Jambe beserta
rakyat Badung. Keluarga Jambe bersama dukungan sebagian besar rakyat Badung
berhasil menjatuhkan kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh Kori XI.
Dari isterinya Gusti Luh Patilik, berputera I Gusti Agung Made
Agung. Dari puteri Ratu Tegeh ini beliau menurunkan seorang puteri I Gusti Ratu
Istri Bongan, yang diperisteri oleh Kyai Anglurah Pemecutan II, menurunkan
putera diPuri Kaleran Pemecutan.
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng Raja III Mengwi
Setelah I Gusti Ngurah Made Agung wafat, digantikan oleh adiknya
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, yang bergelar Cokorda Munggu. Hal
ini disebabkan putera mahkota I Gusti Agung Made Agung tidak kuasa dicegah,
melanggarbisama leluhur, mengambil isteri ke Puri Kuramas. I Gusti
Agung Made Agung mengungsi ke desa Kapal, menjadi Pangeran Kapal.
I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng mempunyai beberapa putera,
yakni: I Gusti Agung Mbahyun, I Gusti Agung Made Munggu, I Gusti Ngurah
Jembrana (pemguasa di Jembrana), dan I Gusti Gede Meliling.
I Gusti Mbahyun (Mayun) Raja IV Mengwi
Setelah I Gusti Agung Alangkajeng tua, beliau yang masih
beristana di dua Puri (Angaron Puri) wafat di Puri Munggu. Oleh
masyarakat diberi gelar Bhatara Ring Pasaren Belimbing. Putera
sulungnya I Gusti Mbahyun (Mayun) menggantikan bergelar Cokorda Mayun.
Pada masa pemerintahanya, laskar Mangha-pura berperang dengan
laskar I Gusti Ngurah Bun. Terjadinya perang tersebut, dikarenakan I Gusti
Ngurah Bun tidak setia kepada Kawya-pura. I Gusti Mayun tewas dalam pertempuran
yang terjadi di desa Lambing. I Gusti Agung Made Munggu, setelah mendengar kakaknya
tewas, memukul kentongan mengirim laskar bantuan. Laskar I Gusti Ngurah Bun
dapat dikalahkan. I Gusti Ngurah Bun dapat dibunuh, anggota laskarnya dikejar
sampai ke desa – desa. Itu sebabnya desa Bun berganti nama dengan desa Sedang, Angantaka,
dan Jagapati. Jenasah I Gusti Mbahyun setelah diupacarai diberi
gelar Bhatara ring Bun. Beliau meninggalkan seorang putera I Gusti
Putu Mayun, masih anak – anak.
I Gusti Agung Made Munggu Raja V Mengwi
Setelah wafatnya I Gusti Mayun terjadi huru – hara antara sesama
keturunan kerajaan Mengwi saling serang, memisahkan diri. Atas permintaan para
pemuka kerajaan I Gusti Agung Made Munggu didaulat menduduki tahta Kawya-pura.
Beliau melangkah ke istana Kawya-pura sambil membawa pusaka – pusaka. Tempat
pemujaan dibangun berhadapan dengan Puri, sebelah Timur jalan, bernama Pemerajan Mayun.
Beliau bergelar Cokorda Munggu. Sementara itu I Gusti Agung Kapal
diserahkan memelihara Pemerajan dan Taman Ayun.
Dalam masa pemerintahannya I Gusti Agung Made Munggu menyerang,
merebut kembali bekas – bekas wilayah kerajaan Mengwi yang melepaskan
diri, seperti desa Abian Semal, Sangeh, dan Mambal.
Setelah lama memerintah, beliau pindah keraton di Puri
Agung Kaleran, lengkap dengan tembok yang megah. Beliau beristerikan puteri
dari Anglurah Tabanan yang beristana di Puri Kubon Tingguh, berputera I Gusti
Agung Putu Agung. Serta seorang isteri puteri dari I Gusti Ngurah Kaba – Kaba,
bernama I Gusti Ayu Oka tidak diceritakan keturunannya
I Gusti Ayu Oka Raja (Ratu) VI Mengwi
I Gusti Agung Made Munggu setelah lanjut usia dan wafat bergelarBhatara
Ring Pasaren Gede. I Gusti Ayu Oka isteri beliau dari Puri Kaba – Kaba
untuk sementara mengisi kekosongan, oleh karena putera kandung I Gusti Agung
Putu Agung dan kemenakannya, I Gusti Putu Mayun masih anak – anak.
Tersiar fitnah yang mengatakan Blambangan melepaskan diri. Ratu
kemudian memanggil Pangeran Blambangan. Pangeran Blambangan datang memenuhi
panggilan namun tidak diperkenankan masuk ke Puri. Pangeran beristirahat di
pesanggrahan di Tegal Waru, sebelah Barat-daya Puri bernama Banjar Jawa.
Pengiring Pangeran Blambangan diberi tempat di sebelah Barat Sahibang (Sibang),
yang sekarang dinamakan Janggala Blambangan, dan Tan Hayu.
Pangeran Blambangan terkenal sakti, sempat memperliatkan
kehebatannya berjalan – jalan di atas air telaga Tama Ayun. Ratu I Gusti Ayu
Oka sempat mendengar kejadian ini semakin menjadi marah, kemudian menyuruh I
Gusti Agung Kamasan dari Sibang dan Mekel Munggu membunuh Pangeran di Pantai
Seseh. Pangeran Blambangan dengan tabah menerima maut yang segera datang.
Sesaat sebelum menghembus napas terakhir, Pangeran mengutuk Kawya-pura akan mengalami
masa – masa surut. Setelah wafat Pangeran Blambangan dibuatkan Kramat dan Meru
Tunpang Solas, yang disembah oleh orang – orang di desa Munggu, Cemagi dan
Sibang.
I Gusti Agung Putu Agung Raja VII Mengwi
Setelah memerintah beberapa lama I Gusti Ayu Oka sudah tua dan
wafat. Putera tiri beliau I Gusti Agung Putu Agung menggantikan bergelar Cokorda
Putu Agung. Dalam pemerintahannya beliau dibantu oleh adik misannya sebagai
Raja Muda bernama I Gusti Agung Putu Mayun, putera dari Bhatara Ring
Bun.
Cokorda Putu Agung wafat di Ukiran, bergelar Bhatareng
Ring Ukiran. Beliau berputera I Gusti Agung Made Agung, beribu dari I Gusti
Ayu Ngurah, puterinya I Gusti Ngurah Teges dari Puri Kaba-Kaba.
I Gusti Agung Made Agung Raja VIII Mengwi
I Gusti Agung Made Agung dinobatkan menjadi raja bergelar Cokorda
Agung Ngurah Made Agung. Beliau didampingi oleh Raja Muda Cokorda
Made Kandel, seorang putera yang diangkat (diperas) dari Dewa Agung
Made dari kerajaan Dalem Sukawati, oleh I Gusti Agung Putu Mayun. I Gusti Agung
Putu Mayun setelah wafat bergelar Bhatara Ring Pasaren Anyar.
Setelah wafat Cokorda Agung Ngurah Made Agung bergelar Bhatara
Angluhur. Beliau banyak mempunyai isteri baik dari kalangan Puri maupun darisudra.
Adapun putera yang terkemuka adalah: I Gusti Agung Made Agung, beribu Jro
Sengguan dari Kekeran, I Gusti Agung Ketut Agung, beribu dari Kapal Kanginan.
Sedangkan Cokorda Made Kandel setelah wafat bergelar Bhatareng
Saren Sibang, berputera I Gusti Agung Putu Mayun Mreta, dan I Gusti Agung
Nyoman Munggu.
I Gusti Agung Made Agung Raja IX Mengwi
I Gusti Agung Made Agung seorang putera kelahiran sudra,
setelah diangkat anak oleh ibu tirinya (permaisuri dari Munchan), naik
menggantikan ayahnya menjadi raja Mengwi, bergelar Cokorda Ngurah Made
Agung.
Beliau beristeri I Gusti Agung Istri Agung, puteri dari I Gusti
Ketut Kamasan Sibang. Istrinya ini membawa abdi tatadan dari
desa Sedang dan Angantaka, berikut harta benda, mas, sawah, sebab beliau adalah
puteri satu – satunya. Dari isteri ini melahirkan puteri satu – satunya bernama
I Gusti Agung Istri Agung Muter, yang diperisteri oleh raja Klungkung Dewa Agung
Gede Putera. Putera tiri dari I Gusti Agung Istri Agung Muter yang bernama Dewa
Agung Gede Jambe, bergelar Dewa Agung Putera inilah yang gugur dalamPuputan
Klungkung pada tanggal 28 April 1908.
Dalam masa pemerintahannya, I Gusti Agung Made Agung berselisih
dengan adiknya tirinya I Gusti Agung Ketut Agung. Raja juga menjalankan fitnah
terhadap I Gusti Agung Nyoman Munggu, hingga dibuang oleh Dewa Agung Klungkung
ke Nusa Barong (Nusa Penida)
Raja ingin menyingkirkan saudaranya dengan mengangkat derajat
dari orang – orang yang tidak pantas. Raja memberi gelar kepada I Gusti Made
Kedewatan dengan Anak Agung Gede Putera, yang disiapkan untuk
menggantikan kedudukannya, sebab beliau tidak punyai putera laki – laki.
Sebaliknya I Gusti Agung Ketut Agung membuktikan diri beliau
sebagai seorang Raja Putera. Beliau diuji oleh Dewa Agung Klungkung untuk
memasukiGoa Lawah sampai tembus ke Pura Besakih. Ujian
itu dilaksanakan dengan berhasil berkat restu dari Ida Bhatara
Tolangkir. Semenjak itu beliau diberi gelar I Gusti Agung Ketut
Agung Bhusakih. Dewa Agung Klungkung kemudian memberi tahu
pihak Mangha-pura tentang keagungan I Gusti Agung Ketut Agung. Namun raja
Mangha-pura tidak mau percaya dan tidak mau menerima kedatangan adiknya
tirinya. Itu sebabnya I Gusti Agung Ketut Agung dibuatkan istana di Klungkung
bernama Puri Batan Waru.
Singkat cerita, dalam perkembangan selanjutnya kedudukan Raja
menjadi terhimpit, oleh karena banyak pemuka – pemuka kerajaan memihak I Gusti
Agung Ketut Agung. Tokoh – tokoh dari warga desa seperti Marga, Sembung, Cau
tidak suka kepada Anak Agung Gede Putera. Mereka memisahkan diri dengan
Kawya-pura dan mengabdi ke kerajaan Tabanan. Inilah awal permusuhan kerajaan
Tabanan dengan Mengwi.
I Gusti Agung Ketut Agung Raja X Mengwi
I Gusti Agung Ketut Agung yang berkedudukan di Puri Batan Waru
Klungkung pulang kembali ke Mngha-pura, tetapi tidak ke Puri Agung, beliau
tinggal di Jeroan Bakungan. I Gusti Agung Nyoman Munggu, yang
sempat dibuang oleh Dewa Agung Klungkung ke Nusa Penida, kembali pulang ke
Mangha-pura membangun istana bernama Puri Mayun.
Di Puri Mayun inilah diselenggarakan Pesamuhan Agung keluarga
Raja dengan pemuka – pemuka masyarakat, yang menghasilkan kesepakatan,
mendudukkan I Gusti Agung Ketut Agung sebagai Raja, dan I Gusti Agung Nyoman
Munggu beserta I Gusti Agung Putu Mayun Merta sebagai Iwa Raja (raja
muda).
Hasil kesepakatan Pesamuhan Agung disampaikan
kepada Raja. Raja bersedia menerima kesepakatan tersebut. Kemudian I Gusti
Agung Ketut Agung diangkat menjadi Raja bergelar Cokorda Agung Ketut
Agung Bhusakih. I Gusti Agung Nyoman Munggu menjadi raja muda
bergelar Cokorda Nyoman Mayun dan I Gusti Agung Putu Agung
Mayun bergelar Cokorda Mayun Mreta. Tetapi I Gusti Agung Ketut
Agung Bhusakih belum bersedia memasuki Puri Agung, oleh karena Anak Agung Gede
Putera masih tinggal di Puri Agung.
Anak Agung Gede Putera mendengar berita, laskar Munggu akan
menyerang dirinya. Dengan dibekali keris Pusaka Ki Panglipur oleh
Raja IX secara diam – diam pergi ke arah Barat, tujuannya ke Tabanan. Laskar
Munggu yang mengetahui Anak Agung Gede Putera lari, dapat dikejar sampai di
persawahan desa Kelaci. Raja IX yang berusaha melindungi, menghalanginya hingga
terjadi perang dengan laskar Munggu. Laskar Munggu tidak mengatahui bahwa yang
diserang dan dibunuh itu adalah rajanya sendiri (Raja IX). Sementara Anak Agung
Gede Putera dapat meloloskan diri. Raja I Gusti Agung Made Agung yang terbunuh
oleh laskar Munggu bergelar Bhatara Ring Suradana.
Raja I Gusti Agung Ketut Agung belum bersedia melangkah memasuki
Puri Agung, oleh karena keris pusaka Ki Panglipur masih dibawa
oleh Anak Agung Gede Putera yang bersembunyi di Tabanan. Dengan segala upaya
keris pusaka dapat dikembalikan, dan Anak Agung Gede Agung diampuni diberikan
rakyat di Moncos, Baha dan Banjar Sayan, yang kemudian dijadikan manca.
Setelah mendapat keris pusaka Ki Panglipur, barulah Raja I Gusti
Agung Ketut Agung Bhusakih melangkah memasuki Puri Agung.
Oleh karena desa Wratmara (Marga) sudah bergabung ke kerajaan
Tabanan, maka sulitlah Raja Mengwi mendatangi (tangkil) ke Pura
Kahyangan Beratan, untuk memuja Bhatara Gunung Mangu. Itu
sebabnya Cokorda Mayun mendirikanPura Penataran Kahyangan Tinggan di
desa Tinggan, yang kerjakan oleh penduduk desa Tinggan, Tiyingan, Semanik,
Plaga, Kiadan, Nungnung, Bon, Sidan, dan desa Belok, yang diplaspas tahun
1830 M. Tahun 1832 dibangun lagiPura Penataran Agung Bon. Tahun 1834
lagi dibangun Pura Puncak Gunung Tedung oleh Cokorda Mayun.
Raja Cokorda Ketut Agung Bhusakih setelah tua, dan wafat
bergelar Bhatara Ring Pasaren Agung. Beliau hanya meninggalkan
seorang puteri I Gusti Agung Istri Mayun, yang bergelar Cokorda Istri
Agung.
Raja Muda (Iwa Raja) Cokorda Nyoman Mayun setelah tua dan
wafat bergelar Bhatara Ring Galungan. Beliau meninggalkan putera I
Gusti Agung Made Raka, beribu Jro Serongga , keluarga Bendesa Mas Mambal. I
Gusti Agung Istri Putu dan adiknya I Gusti Agung Made Agung, kedua beribu patni dari
Puri Grana.
Raja Muda Cokorda Mayun Mreta setelah wafat bergelar Bhatara
Ring Pekerisan. Beliau meninggalkan seorang putera I Gusti Agung Gede
Mayun, beribu Gusti Luh Kajeng dari Bindhu.
I Gusti Agung Made Agung Raja XI (Terakhir) Mengwi
Oleh karena Raja hanya mempunyai seorang puteri, maka para
pemuka di kalangan Puri Agung mengadakan Pesamuhan untuk
menunjuk pengganti Raja berikutnya. Dalam pesamuhan itu
disepakati untuk mendudukkan I Gusti Agung Made Agung, putera Bhatara
Ring Galungan menjadi Raja Mengwi, bergelarCokorda Ngurah Made
Agung. Kakak beliau I Gusti Agung Made raka diangkat sebagai Raja Muda (Iwa
Raja) bergelar Anak Agung Gede Alangkajeng.
Kemudian Puri Mayun dibagi 2 bagian. Bagian Utara tetap bernama
Puri Mayun, tempat tinggal dari I Gusti Agung Gede Mayun atau Anak Agung Gede
Mayun nama lainnya. Bagian Selatan bernama Puri Anyar, kediaman
dari Anak Agung Gede Alangkajeng. Puri Anyar dan Pemerajannya diplaspas pada
tahun 1860 M.
Anak Agung Gede Alangkajeng terkenal sakti dan kebal, tidak
dapat ditembus oleh peluru. Adapun kesaktiannya berkat anugrah dari Bhatara
Gunung Mangu. Pada suatu hari tengah malam beliau bersemadi. Di dalam daksinadidengar
suara berisik. Beliau mengambil dan membuka isi daksina, yang
ternyata ada ular hitam – putih. Ular tersebut dililitkan ditubuhnya. Tiba –
tiba ular tersebut berubah menjadi selempang bahu berwarna Hitam – Putih,
diberi nama Ki Naga Poleng.
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
BERAKHIRNYA KERAJAAN MENGWI
Perselisihan di Dalam Kerajaan Mangha-pura
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perselisihan di dalam
kerajaan Mengwi. Anak Agung Gede Alangkajeng meninggalkan kerajaan Mengwi dan
putera – puterinya, hanya didampingi oleh isterinya I Gusti Ayu Sagung, menuju
negara Badung di Jro Kanginan. Selama tinggal di Badung putera –
puterinya tidak ada yang menjenguk, hingga membuat hatinya semakin sedih. Anak
Agung meninggal di Jro Kanginan Badung bergelar Bhatara Ring Badung.
Beliau dibuatkan Pelinggih Gedong di Pura Penataran
Tinggan.
Anak Agung Gede Alangkajeng meninggalkan beberapa putera dan
puteri, yang terkemuka diantaranya adalah: I Gusti Agung Made Ngurah (beribu
Gusti Luh Rai dari Bnajar Natih Sedang), I Gusti Agung Putu Alangkajeng (beribu
keturunan Dewa Godong Artha), I Gusti Agung Istri Kajeng (beribu Jro Taluh
Harsa) diperistri oleh Ida Putu Batu, kemudian mediksa bernama
Ida Pedanda Gede Sembung dan Ida Pedanda Istri Agung. Yang paling bungsu
bernama I Gusti Agung Ketut Rai beribu Jro Ketut Raga.
Putera beliau yang bernama I Gusti Agung Made Ngurah diangkat
menjadi Raja Muda. Tetapi tidak disenangi karena tidak mempunyai tanggung jawab
sebagai pemimpin, hanya menjalankan kesenangan sendiri.
Laskar Gabungan Menaklukkan Mengwi
Dewa Agung Klungkung mendengar perselisihan di dalam kerajaan
Mangha-pura, sangat merasa prihatin. Beliau mengirim utusan untuk meminta Raja
Muda I Gusti Agung Made Ngurah agar menghadap Dewa Agung di Klungkung.
Tetapi oleh raja Mangha-pura perintah itu tidak dipenuhi dengan alasan takut
akan dibuang seperti yang pernah dialami oleh leluhur beliau Bhatara
Ring Galungan, yang sempat dibuang ke Nusa Barong (Nusa Penida).
Sikap penentangan ini mengundang kemarahan besar Dewa
Agung Klungkung. Segera beliau memerintahkan kerajaan Badung, Tabanan, Ubud,
dan Bangli menyerang Mangha-pura. Situasi di Mangha-pura sendiri menjadi
semakin kacau setelah mengetahui adanya perintah Dewa Agung tersebut. Diantara
pembesar – pembesar kerajaan kurang bersatu, masing – masing memikirkan
keselamatan diri sendiri. Sebab mereka tahu perintah Dewa Agung pasti dijunjung
oleh raja – raja yang masih setia kepada Dewa Agung Sesuhunan Bali – Lombok.
Sesuai perintah Dewa Agung, laskar gabungan Badung, Tabanan,
Ubud, dan Bangli menyerang Mengwi. Perlawanan laskar Mengwi berakhir pada
tanggal 20 Juni 1891. Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung tewas di tengah
sawah di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida
Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng.
Jenasah Cokorda Ngurah Made Agung ditawan di Badung, satu tempat dengan jenasah
Anak Agung Gede Alangkajeng.
Cokorda Ngurah Made Agung, raja terakhir Mengwi ini
bergelar Bhatara Ring Rana. Beliau meninggalkan putera – puteri,
diantaranya yang terkemuka adalah: I Gusti Agung Gede Agung (beribu Jero Saren,
yang diangkat putera oleh permaisuri Cokorda Istri Agung), I Gusti Agung Ketut
Agung (Beribu Jero Sumapatra, juga diangkat putera oleh permaisuri Cokorda
Istri Agung). Cokorda Istri Agung sendiri, karena tidak sanggup menanggung
kesedihan, beliau wafat di Badung. Jenasahnya disatukan dengan jenasah kakak
beliau.
Seluruh harta benda dan pusaka kerajaan dibawa ke negara Badung.
Keluarga, kerabat dan sabahat raja juga ditawan. Diantaranya Ida Pedanda
Gede Kekeran ditawan, ditempatkan di Puri Tegal Badung.
Demikian juga wilayah – wilayah kerajaan Mengwi dibagi-bagi, seperti desa
Kaba-kaba, Kediri, Belayu dikuasai Tabanan. Desa Carangsari, ke Utara sampai
desa Tinggan dikuasai kerajaan Bangli. Desa Jagapati, Abiansemal sampai desa
Samuan dikuasai oleh Ubud. Sisanya dikuasai oleh Badung.
Putera – Puteri Kawya-pura Lolos dari Tawanan
Setelah sekitar 3 bulan putera – puteri Mangha-pura ditawan di
Badung, Anak Agung Nyoman Kaler dari Puri Gerana yang diiringi oleh puteranya I
Gusti Agung Made Raka karena rasa kesetiaannya bersaudara, ikut berduka
cita, menyusul ke Badung. Sementara harta benda dan pusaka Puri Gerana
diserahkan dan dijaga oleh I Gusti Ngurah Gede Pacung dari Puri Carangsari.
Pada tahun 1893, suatu hari pada tengah malam putera – puteri
Mangha-pura berhasil meloloskan diri, mengiringi Ida Pedanda Gede Kekeran
menuju Puri Ubud, karena pihak Puri Ubud menjanjikan keselamatan. Disediakan
tempat tinggal yang bernama Puri Kelodan. Kemudian datang
berkunjung Ida Pedanda Gede Pemaron dari Mengwi beserta
keluarga untuk ikut merasakan kedukaan. Oleh Raja Ubud disediakan tempat yang
diberi nama Gerya Taman Sari.Tidak beberapa lama, banyak putera –
puteri Mangha-pura memenuhi Puri Kelodan tersebut. Mereka juga menempati desa –
desa bekas wilayah Mengwi yang dikuasai Ubud. Raja Muda Manga-pura Anak Agung
Mayun kemudian wafat di desa Sedang tahun 1894, jenasahnya dibakar di desa
Lambing, bergelar Bhatara Ring Lambing.
Putera Mangha-pura Gagal Merebut Taman Ayun
I Gusti Agung Gede Agung putera Bhatara Ring Rana,
salah satu pewaris kerajaan Mengwi, berkehendak merebut paling tidak kawasan
Taman Ayun yang dikuasai Badung. Seperti diketahui kawasan Pura Taman Ayun
adalah tempat para leluhur beliau distanakan. Beliau mengirim utusan untuk
meminta bantuan Ubud. Ubud menerima baik niat tersebut dan berjanji membantu
mengembalikan kawasan Taman Ayun kepada putera Mangha-pura.
Para hari yang ditentukan berangkatlah laskar dan putera –
putera Mangha-pura yang dipimpin oleh I Gusti Agung Gede Agung menuju daerah
Taman Ayun. Mereka terkejut disongsong oleh laskar dari Badung dalam jumlah
yang banyak, yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Raka Dabot. Bantuan yang
diharapkan dari Cokorda Ubud ternyata tidak datang. Terjadi pertempuran di desa
Penarungan tahun 1897 M. Anak Agung Nyoman Kaler dari Puri Gerana tewas.
Jenasahnya ditawan di Badung, bergelar Bhatara Ring Penarungan.
I Gusti Agung Gede Agung Raja Abian Semal
Sementara Raja Putera I Gusti Agung Gede Agung bersama rakyatnya
mengungsi ke desa Abian Semal, daerah kekuasaan Ubud, dimana laskar Badung
tidak berani mengejarnya. Di sini beliau berpikir memohon kebijaksanaan Dewa
Agung agar diberikan wilayah untuk memerintah. Beliau mengutus ibundanya I
Gusti Istri Raka ke Smara-pura. Dewa Agung Klungkung yang merasa kasihan atas
nasib putera-putera Mangha-pura, mengutus I Gusti Ngurah Raka Dabot. Dewa Agung
hanya memberikan bekas wilayah kerajaan Mangha-pura yang dikuasai oleh Ubud
saja. Pihak Ubud menentang keputusan Dewa Agung ini. Atas perintah Dewa
Agung Klungkung, raja Badung dan Bangli membantu I Gusti Agung Gede Agung
merebut bekas wilayah kerajaan Mengwi yang dikuasai Ubud. Setelah berhasil, I
Gusti Agung Gede Agung kemudian dinobatkan menjadi Raja di Abian Semal,
bergelar Cokorda Gede Agung tahun 1902 M. Adapun wilayah
kekuasaan beliau kemudian adalah bekas wilayah Mangha-pura yang dirampas oleh
Ubud dan Bangli.
Putera – Putera Mangha-pura diberi Kedudukan
Raja Abian Semal Cokorda Gede Agung menempatkan saudara –
saudaranya ke daerah-daerah yang belum ada pemimpinnya, seperti :
1. Putera-putera Bhatara Ring Badung:
I Gusti Agung Oka dan I Gusti Agung Ketut Rai diberi kedudukan di desa Getasan,
Pangsan, dan Sekarmukti. Selanjutnya membangun istana bernama Puri
Anyar Getasan.
I Gusti Agung Ketut Kaler diberikan kedudukan di desa Abian
Semal, mendirikan Puri Anyar Lebah.
I Gusti Agung Putu Alangkajeng diberikan kedudukan di desa
Mambal, membangun Puri Anyar Kedampal.
I Gusti Agung Made Rai diberikan kedudukan di desa Lambing dan
Sigaran, mendirikan Puri Anyar Lambing.
I Gusti Agung Made Ngurah diberikan kedudukan di desa Sedang,
medirikan Puri Anyar Sedang. Kemudian beliau madwijati menjadi
pendeta.
I Gusti Agung Nyoman Munggu menjadi Raja Muda Abian Semal,
beliau menjunjung Pemarajan Dalem.
2. I Gusti Agung Made Raka beserta adik-adiknya
(putera Bhatara Ring Penarungan) diberi kedudukan di desa Gerana
sampai ke Sangeh. Mendirikan istana baru bernama Puri Gerana.
3. I Gusti Agung Made Oka dan adik-adiknya
(putera Bhatara Ring Lambing) diberi kedudukan di desa Blahkiuh dan
Pikat. Mendirikan istana bernama Puri Mayun Blahkiuh.
4. I Gusti Ngurah Pacung diberi kedudukan di desa
Carangsari, dan adiknya I Gusti Ngurah Alit Pacung diberi kedudukan di desa
Petang. Kemudian keduanya melapaskan diri dari Abian Semal, bergabung kepada
raja Ubud.
5. I Gusti Ngurah Gede jelantik diberi kedudukan
di desa Angantaka. Kemudian tidak mau tunduk dengan Abian Semal, bergabung
kepada raja Ubud.
6. I Gusti Ngurah Mayun diberi kedudukan di desa
Sibang Kaja. Kemudian berbalik bergabung kepada Smara-pura.
Pasca Puputan Badung dan Puputan Klungkung
Setelah kerajaan Badung lenyap ditaklukkan oleh Belanda dalam
Puputan Badung yang puncaknya tanggal 20 September 1906, I Gusti Agung Made Oka
yang berkedudukan di desa Blahkiuh berselisih dengan Raja Muda Abian Semal, I
Gusti Agung Nyoman Munggu. I Gusti Agung Oka bersama dengan adik – adiknya,
menyerahkan desa – desa kekuasaannya kepada Belanda. Oleh Belanda, I Gusti
Agung Oka diberi kedudukan sebagai Punggawa pertama Mengwi.
Sementara Puri Blahkiuh diserahkan kepada adiknya I Gusti Agung Ratu Mayun.
Kemudian pada tanggal 28 April 1908, Semara-pura jatuh, Dewa
Agung Klungkung Sesuhunan Bali – Lombok terakhir wafat dalam puputan Klungkung.
Raja Abian Semal Cokorda Gede Agung, oleh Belanda kemudian diangkat sebagaiPunggawa pertama
Abian Semal. Karena sakit, Cokorda Gede Agung tidak lama menjadi Punggawa Abian
Semal, beliau diganti oleh I Gusti Agung Ratu Mayun, putera Bhatara Ring
Lambing.
Demikianlah riwayat perjalanan putera – putera kerajaam
Manghapura, masih panjang untuk diceritakan.
Sayang kerajaan besar seperti Mangha-pura lenyap sebelum Belanda
mengusai Pulau Bali, sehingga daerah Mengwi tidak dapat dimasukkan ke dalam
salah satu Kabupaten di Bali. Dengan berkuasanya Belanda dan kemudian
disusul dengan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semuanya
menutup riwayat Mengwi.